12 Januari xxxx. Pukul 03.35 p.m
Aku terduduk lemas di lantai yang dingin. Mataku terpejam dan bulir-bulir air mulai berjatuhan membasahi pipiku yang kotor. Seketika harapan yang kugantung tinggi itu kini terlepas. Jadi, semua pengorbanan ini sia-sia saja? Tempat yang selama ini dipikir-pikirkan menjadi tempat yang aman serta menjadi tujuan dari kaki kami berlari kini hancur.
Zombie berada di mana-mana. Lalu, di mana lagi kaki kami dipaksa untuk berlari? Ke mana lagi sebenarnya tujuan terakhir kami? Bertahan di tengah lingkungan zombie yang ganas, bertahan agar dapat menghirup oksigen di tengah rusaknya kota. Jadi, haruskah kami berhenti sekarang?
"Kita akan mati." Aku berucap pelan.
Ayahku mencengkram bahuku membuatku membuka mataku. "Jangan menyerah seperti ini, Val."
"Ayah..." Suaraku terdengar menciut. Iris hitamnya terlihat berkaca-kaca. Ayahku terus memberiku harapan meski kuyakini sudah tak ada harapan lagi untukku.
Ayah menarikku ke dalam pelukannya membuatku kembali menangis. "Ayah..."
"Jangan menangis, Valerie."
Setelah beberapa menit berlalu, tangisku mulai meredam. Aku masih berada di dalam dekapan Ayahku, tak berniat untuk melepasnya. Setidaknya ini menjadi momen terakhir sebelum kami semua benar-benar mati disantap manusia buas itu.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Sungguh, tubuhku sudah sangat lelah berjuang di dunia yang seperti ini. Aku yang dulunya tak pernah membunuh seseorang kini menjadi pembunuh manusia buas itu. Itupun terpaksa karna harus melindungi diriku yang lemah ini.
Oh Tuhan, kenapa di akhir hidupku aku harus mati disantap zombie? Tak adakah jalan kematian lain yang harus kulalui? Sungguh menakutkan.
"Kita akan selamat!" Seruan tegas kini terdengar dari Kakakku. Aku memandanginya dengan alis bertautan.
Bagaimana bisa kami akan selamat?
Aku terduduk diam sembari menatap semua orang yang ada di depanku. Mereka sibuk melaksanakan rencana yang sudah di atur oleh kakakku. Bahkan kedua lenganku sudah terlingkar sebuah kain yang entah dari mana Afsheen dapatkan.
Dan aku semakin merasa bahwa ajal akan segera menjemput ketika kakakku mengatakan rencananya. Kau tahu apa rencananya? Rencananya ialah, turun dan lawan zombie itu. Gila memang, tapi hanya itu caranya.
Kakakku bilang bahwa kita bisa selamat dan pergi dari negara ini. Ada sebuah pesawat yang terletak tak jauh dari atas ini, dan kami harus berlari ke sana secepat mungkin dan masuk ke dalam.
Kau pasti berpikir untuk apa berlari ke sana jika pilot pun tak ada? Tapi jawabannya, ada. Kakakku lah yang akan menjadi pilotnya. Jadi, tak perlu khawatir dengan masalah itu.
Tetapi, yang perlu dikhawatirkan ialah, bagaimana bisa kami sanggup melawan kumpulan zombie ganas yang ada di bawah sana?
"Semua sudah siap?"
"Tak perlu bertanya jika kau hanya membutuhkan jawaban 'ya' atau 'siap' saja. Karna kata 'tidak' dariku tak akan berpengaruh." Ucapku ketus
"Aku tak membutuhkan jawabannya, Val. Ini hanyalah sebuah simbol agar kita kembali bersemangat." Jawab kakakku.
Aku menatapnya sinis, "Kembali bersemangat meski ujungnya juga tetap mati?"
Kakakku terdiam menatapku yang kini memalingkan wajahku ke arah bawah. Tempat di mana para zombie berkerumun ganas menunggu santapan mereka datang.
"Setidaknya kita mati setelah berjuang. Itu lebih baik daripada tak melakukan apa-apa." Jawaban dari Julian membuatku balik terdiam, tak mampu melawan kata-katanya.
Aku mengepalkan kedua tanganku kesal. (Kesal karna tak bisa melawan kata-katanya itu), "Baiklah, baiklah. Aku sudah siap sekarang." Seruku ketus. "Jadi kita harus turun sekarang, kapten?" Sindirku pada Julian yang kini menatapku dengan senyumannya ( baca : seringai )
"Karna semua sudah siap, jadi kita harus cepat bergegas sebelum bulan naik ke atas."
---
Aku menatap ngeri pada tapak anak tangga yang menurun ke bawah. Mungkin 20 sampai 30 anak tangga lagi maka kami akan keluar ( Menjumpai zombie-zombie ganas itu ).
Oh Tuhan, aku tidak sanggup lagi untuk bertemu makhluk mengerikan itu. Bahkan mengingat rupa mereka di pikiranku saja sudah sukses membuatku merinding.
"Adakah yang bersedia turun pertama kali?" Tanya Afsheen yang kini mematung menatap anak tangga di depannya.
"Biarkan kapten kita yang maju duluan." Jawabku sambil menatap Julian yang juga tengah menatapku, "silahkan kapten." Aku memberinya jalan untuk turun pertama kali.
Julian nampak diam sejenak. Ia menarik nafas kemudian membuangnya. Genggamannya pada pistol mengerat. Dengan perlahan ia maju dan mulai turun mendahului kami semua.
"Wah~ dia benar-benar tak kenal takut rupanya." Aku bergumam takjub.
Aku menoleh ke belakang begitu kurasakan sebuah tepukan di bahuku.
"Sudahi dulu rasa takjubmu, lebih baik kau fokus pada musuhmu."
Aku mendelik mendengar ucapan kakakku. Aku menatap punggung yang mulai menjauh itu. "Ck, baiklah. Mari kita habisi makhluk buas itu Valerie."
Dan dengan langkah pasti aku bergegas turun mengikuti mereka. Keringat dingin mulai mengucur dari dahiku yang kotor. Tak lupa dengan doa-doa yang selalu kurapalkan dalam hati di setiap tapak anak tangga. Semoga saja kami selamat.
Semoga saja.
Tubuhku langsung merinding begitu kakiku berhenti tepat anak tangga yang terakhir. Oh God! Di depanku kini sudah berdiri puluhan bahkan ratusan zombie yang bergerak liar dengan darah segar yang mengalir dari tubuh mereka. Apalagi di tambahkan dengan bentuk tubuh mereka yang terlihat aneh dengan baju yang kotor dengan darah.
Ugh! Menjijikan!
Aku membuang nafas keras, "Ah..ayo selesaikan masalah ini secepatnya Valerie."
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey To The Airport
HorrorSemuanya berlalu seperti biasa. Langit biru, mentari yang indah, semilir angin yang menyejukan, nyanyian burung gereja, semua nampak indah di pagi itu. Tetapi, semuanya terasa terbalik begitu bencana itu terjadi. Segalanya terasa mencekam, tak ada l...