12 Januari xxxx pukul 03.00 p.m
Keadaan menjadi lebih sunyi sepeninggalnya ibuku. Hatiku merasa sesak begitu langit indah di mata ibuku berganti dengan kabut yang tebal. Aku menunduk karna air mataku kembali mengalir. Aku mengumpat dalam hati. Sesaat aku marah pada Tuhan karna memberikan garis takdir yang buruk seperti ini.
Mengapa zombie datang di negara ini? Apa penyebabnya? Lalu kenapa harus ibuku yang kini terenggut dariku? Tak puaskah Ia merenggut Joshua, Bibi Alexa? Bahkan Ailee dan Ibuku? Aku merontah dalam hati dan terus bergumul dengan banyaknya pertanyaan yang ingin kutujukan pada Tuhan.
Semua yang Kulakukan indah pada waktunya, Valerie.
Aku tersentak kaget begitu suara lembut itu masuk di indra pendengaranku. Itu... apa itu suara Tuhan? Sungguh?
Kata-kata itu sangat sering kudengar ketika hari minggu, di saat Pendeta Math berkhotbah di atas altar. Detik kemudian hatiku dipenuhi rasa bersalah karna menyalakan-Nya. Benar. Semua ini terjadi sesuai dengan kehendak-Nya dan aku tak berhak menolak.
Kurasakan sepasang tangan memelukku dari samping. Aku terdiam begitu pandanganku terkunci pada iris hazelnya. Aku terlalu egois hingga terus menyalahkan sampai tak mengingat ada orang lain yang jauh merasa lebih sakit dariku. Kevin. Anak lelaki ini bahkan terlihat jauh lebih tegar dibandingku ketika kepergian ibunya.
Aku terhenyak. Seharusnya aku bersyukur karna bisa memeluk dan mendengar suara ibuku di akhir kehidupannya.
"Kakak baik-baik saja?" Ia bertanya.
Aku mengangguk pelan lalu menghapus air mataku kasar. "Kau lelah?" Pertanyaan yang spontan keluar dari bibirku.
Kevin mengangguk pelan, "Sangat lelah."
Aku terdiam. Tanpa sadar sebutir air jatuh dari mata kananku tapi buru-buru kuseka. Itu adalah jawaban yang sama. Aku menarik Kevin ke dalam pelukanku. Tak bisa dipungkiri, aku kembali menangis dalam diam.
---
JulianoAlexandro POV
Aku turut merasakan duka sepeninggalnya Ny. Emma. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang sangat kau cintai. Dadamu sesak, bahkan rasanya kau tak percaya dan ingin menyalahkan. Aku tahu, karna aku merasakannya lebih dahulu sebelum Valerie.
Aku mengemudi dalam keadaan diam. Tn. Delvin pun nampak diam menatap kosong ke arah luar. Tak berbeda dengan Valerie, gadis itu sama. Bahkan kulihat dari kaca depan matanya berkaca-kaca. Ia nampak menunduk, aku yakin itu karna ia kembali menangis.
Aku kembali fokus untuk menyetir.
"Kakak baik-baik saja?" Aku mendengar suara anak lelaki itu.
Untuk sebentar Valerie tak menjawab pertanyaannya. "Kau lelah?" Mataku kontan melirik ke kaca depan. Aku merasa bahwa aku pernah mendengar kata itu.
"Sangat lelah." Aku merasa De Javù sekarang. Aku ingat, itu adalah obrolan singkat antara Ny. Emma dan Valerie beberapa menit yang lalu sebelum kejadian tak mengenakan itu terjadi.
Aku bisa melihat bahwa gadis itu menangis tepat ketika ia memeluk bocah laki-laki itu. Sungguh, aku tidak suka melihat pancaran langit itu berair seperti sekarang. Langit itu nampak memancarkan kesedihan yang sangat mendalam.
Tepat ketika mataku kembali ke depan, kontan kakiku dengan segara menginjak rem. Alhasil bisa kulihat para penumpang tersentak kaget. Bahkan Valerie memekik keras.
"Ada apa?" Terdengar kepanikan dalam nada bicara Valerie.
Aku terdiam tak menjawab. Telunjukku pun kuarahkan ke depan di mana jalan sudah di sesaki dengan kendaraan-kendaraan yang rusak bahkan ada yang hangus terbakar api. Benar-benar tak ada celah selain berjalan kaki.
"Oh God." Valerie berseru tak percaya. Terbukti dari mulutnya yang melebar.
Aku menatap ngeri keadaan di depan. Oh Tuhan, ancaman apalagi ini?
---
ValerieJovita POV
Tiba-tiba saja aku terjungkal ke depan membuatku refleks berteriak. Aku melihat ke arah Kevin sejenak lalu beralih ke depan.
"Ada apa?" Aku bertanya panik jika saja ada hal-hal yang mengejutkan terjadi.
Dan benar. Ketika telunjuk Julian terarah ke depan, barulah mulutku terbuka lebar tak percaya.
"Oh God." Seluruh jalan kini di penuhi dengan lautan kendaraan. Banyak sekali kendaraan yang bergelimpangan tak terurus. Banyak yang terbalik dari letak seharusnya, bahkan ada yang sudah hangus terbakar. Sungguh, ini pemandangan yang tak mengenakan.
Kami akhirnya terpaksa turun dari mobil karna memang tak ada celah sedikitpun bagi mobil ini melaju. Kevin menggenggam erat tanganku dan bersembunyi di balik tubuhku.
"Apa kita tidak selamat, kak?" Suaranya terdengar menciut.
"Astaga, apa yang terjadi dengan semua kendaraan ini?" Afsheen berucap tak percaya ketika berdiri di sampingku.
Aku menggeleng tak tahu.
"Bagaimana ini? Bagaimana cara kita melewati semua kendaraan ini? Mungkin saja di sana ada zombie yang berdiam." Ucap Keisha dengan nada ketakutan.
"Ayah..."
Ayahku menoleh ke arahku dan mendekat. Ia merangkul pundakku erat, "Kita akan melewatinya bersama-sama, Val."
Julian berdeham membuat seluruh pandangan kami tertuju padanya.
"Jangan bilang kau menyuruh kami untuk melewatinya dengan berjalan kaki." Tuduhku yang kuyakini jawabannya ialah ya.
Julian mengangguk pasti, "Tak ada jalan lain, hanya ini satu-satunya cara menuju ke bandara."
Bahuku melorot. Astaga, ini sama saja dengan mengantar nyawa. Bagaimana jika ada zombie di sini? Baru beberapa menit yang lalu kami kehilangan dua nyawa, dan sekarang apa nyawaku yang kini akan diambil?
"Simpan senjata kalian dan jangan menembak sama sekali ketika kita melewatinya. Dan, kumohon jangan berteriak." Perintah Julian.
"Bagaimana jika ada zombie? Mereka bisa menerkam kita jika tidak memakai senjata." Sungut Afsheen. Aku menyetujui protesnya.
Julian menghela nafas sejenak, "Zombie memiliki tingkat pendengaran yang tajam, jika kau menembak maka sama saja dengan memberi nyawamu."
"Lalu bagaimana cara membunuh zombie-nya?" Tanya Pastor Jack.
"Patahkan lehernya atau injak kepalanya sampai pecah."
Sadis. Itu kata yang tepat untuk menggambarkan penjelasan Julian. Baik sikap dan tutur katanya tak ada yang jauh berbeda.
"Aku tak bisa berkelahi." Sungut Keisha. Ah, aku juga sama.
"Kau tak perlu tahu berkelahi untuk membunuhnya. Zombie bukanlah petarung yang hebat seperti John Cena, mereka hanyalah manusia yang bergerak tanpa jiwa. Dua kali kau pukul pun dia akan jatuh tak bergerak." Jelas Julian.
OMG. Entah teori ke sekian lagi yang ia ketahui. Tahu darimana ia semua tentang zombie? Kelemahannya, pusat utama dari pergerakannya, ketajaman telinganya bahkan sekarang gerak-geriknya. Aku memandangnya tanpa berkedip.
"Jika kau ingin bertanya dari mana aku mengetahuinya maka jawabannya ialah karna aku sudah menelitinya semenjak zombie tersebar." Jelas Julian ketika ia mendapatiku menatapnya.
Ah, aku kedapatan menatapnya.
"Jadi, semuanya sudah siap?" Ia bertanya.
"Siap!"
Ya. Aku siap menemui ajalku.
---
Hai! Aku kembali lagi setelah lama gak update. Maaf ya, sungguh maaf.Tapi, aku gak bakalan biarin cerita ini kok. Aku akan selesain sampe tuntas!
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey To The Airport
HorrorSemuanya berlalu seperti biasa. Langit biru, mentari yang indah, semilir angin yang menyejukan, nyanyian burung gereja, semua nampak indah di pagi itu. Tetapi, semuanya terasa terbalik begitu bencana itu terjadi. Segalanya terasa mencekam, tak ada l...