[6] Keluarga

336 46 32
                                    


Desy menepati janjinya. Iman pula.

Sejak adzan subuh Desy dan Iman sudah berdiri di depan pintu kelas, menunggu Dewi dan Fadhil beranjak untuk ke masjid. Mereka tak membiarkan dua murid tadi lepas dari pengawasan. Desy, merasa terbantu dengan masa periodnya yang sudah habis, menempel dengan Dewi, bahkan saat mengambil wudhu. Rasanya seperti tidak ada objek lain di sekitar selain Dewi. Matanya terpancang, mengawasi kalau-kalau Dewi memberi kode pada yang lain lewat tatapan mata, gerak mulut, atau tangannya.

Di seberang sana Fadhil sendiri tampak berkeringat dingin. Sungguh, tidak memiliki bodyguard sama sekali itu jauh lebih baik daripada memiliki bodyguard namun seorang pembunuh. Iman terus-terusan mengajaknya mengobrol sejak tadi, dan bahasannya menakjubkan. Iman berandai-andai untuk menonton bioskop saat berhasil keluar dari sini, Iman berbicara soal onderdil motor, Iman berbicara soal tupai terbang. Fadhil sampai tak tahu harus menjawab apa.

Selepas sholat subuh, beberapa dari mereka langsung menuju satu kelas 8G. Yumna dan Cikha jelas tidak ada di masjid pagi itu. Iman dan Desy tidak boleh membiarkan Fadhil dan Dewi terpisah dari mereka, maka keduanya terpaksa ikut untuk menyaksikan TKP, padahal pagi-pagi sebelumnya mereka tidak pergi ke tempat pembunuhan sama sekali.

"Anc*k—"

Kelas itu jauh lebih mengerikan daripada kelas-kelas yang sebelumnya. Darah yang berceceran tampak lebih banyak, menggenang. Di pojok kelas terlihat Yumna yang terduduk di lantai, dari sudut bibirnya terlihat cairan berwarna hitam. Di depan kelas mayat Cikha terbaring, matanya membelalak, kerudungnya terlepas. Keadaan mereka tampak benar-benar berkebalikan dari Muthia di seberang yang sangat damai.

Nesya dan Febi langsung menutup mata ketika pintu dibuka. Fadhil mundur. Pun Dewi, yang sepertinya sudah ingin muntah. Desy, entah bagaimana, juga merasa mual melihat pemandangan ini, padahal dia sendiri yang menancapkan pensil di leher Cikha. Iman tercekat. Ia menutup pintu kembali.

"Sumpah?" tanya Daniel, wajahnya ngeri. "Pensil? Tinta?"

Iman mengangguk sedikit. "Sumpah ngeri kalo ke sana."

Fadhil memakan sarapannya dengan kaku. Nasi dengan lauk tempe dan tahu itu terasa hambar. Ia harus menggunakan matanya secara maksimal hari ini, dan entah apa jadinya kalau nanti dia dan Dewi tidak menemukan satu recorder yang tersisa itu. Jangan sampai Desy dan Iman menggunakan pensil dan tinta lagi...

"Des, tau ga nanti jadinya suspicious kalo kita pencar berdua," kata Dewi ketika ia dan Desy menaruh piring kotor mereka di meja hijau. Saat itu yang lain masih asyik menyantap sarapan. "Mending kita ajak yang lain juga."

"Waw." Desy berkacak pinggang. "Boleh juga, sih. Tapi tetep—kalo bukan kamu atau Fadhil yang nemu, kita bakal bunuh kalian. Oke?"

Dewi bergidik. "Oke."

Fadhil menghampiri mereka, Iman dan Sandi di sebelahnya. Mereka sama-sama menaruh piring, tapi wajah Fadhil benar-benar ketakutan. "Mau nyari recorder lagi, ta?" tanyanya, agak dikeraskan dan terpaksa, seakan tadi Iman sudah memberinya skenario. Desy dan Dewi yang barusan mau kembali ke tempat duduk semula berhenti, memutuskan untuk bercakap terlebih dahulu.

"Iya. Ikut ta?" tanya Desy, menampilkan senyuman yang tampaknya menyiratkan inget-kesepakatan-semalem. "Ntar kita ajak anak-anak juga."

"Boleh, boleh." Sandi yang menyahut. Dia satu-satunya orang yang tak tahu apa-apa dalam kelompok ini. "Rame-rame ae lho enak, cepet."

"Oke." Dewi melirik Desy. Ia jelas ingin cepat-cepat pergi, tak ingin terlibat hal ini lagi. Tak sedikit pun terbersit rasa ingin memberitahu yang lain bahwa perempuan yang berdiri di sebelahnya sekarang adalah Werewolf, dan laki-laki yang sekarang membagi wilayah dengan Sandi adalah partner-nya. "Btw, recorder yang di Yumna gimana? Kemarin dia bilang dia punya recorder, 'kan?"

[completed] CURSED CLASS: WEREWOLF GAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang