Adzan subuh terdengar sayup-sayup, seakan mengerti situasi dan kondisi para penghuni sekolah tersebut. Mereka bergidik ngeri; takut saja kalau-kalau ada mayat terbaring di koridor saat perjalanan menuju masjid. Semuanya menggigil kedinginan. Semalam hujan dan horor yang menaungi tempat mereka berada benar-benar senada.
Iman sibuk menghitung para murid laki-laki di tempat wudhu, begitupula yang dilakukan Yumna di sisi perempuan. Hampir semua murid laki-laki kiranya sudah aman berada dalam tempat wudhu yang sempit itu, dan Yumna sendiri belum selesai menghitung.
"Kurang tiga," risaunya. Ia bergetar mengabsen tiap murid perempuan yang telah sampai, mengira-ngira siapa yang belum pula menjejakkan kakinya di lantai masjid.
Lamat-lamat terdengar langkah kaki cepat dan terburu-buru dari arah selatan, dan terlihatlah sosok Syarifah bersama Mesayu yang terengah-engah mencapai masjid. "Sori telat!" Syarifah duduk, melepas sepatu dan kaos kakinya, kemudian berjalan buru-buru menuju keran yang kosong.
Yumna cukup lega, namun masih ada satu orang lagi yang tak kunjung muncul. Sekali lagi ia mengabsen dan akhirnya terlihat siapa yang tak ada di sana. Ia berjalan lemas ke dalam masjid, tangannya menumpu beban tubuhnya pada lemari penyimpanan mukena.
"Iman," ia melambaikan tangannya dan berucap lemah. "Iman!"
Iman yang baru saja mengambil wudhu, dalam waktu yang benar-benar pas, menghampiri Yumna dengan tergesa. "Ada yang ilang."
"Cewe juga." Yumna berkata dengan suara tercekat. "Bianca."
Mungkin hatinya mencelos. Mungkin—karena Iman memang sudah tahu sebelumnya, tapi perasaan berat hati ketika menyaksikan Desy menyayat pergelangan tangan sahabatnya masih terasa, sehingga tak nampak kebohongan dalam raut wajahnya. "Seng ra an." Ia mencoba mencairkan suasana.
Tapi Yumna menggeleng, bersikeras. "Bianca ngga ada!"
.
.Anggi menangis meratapi mayat yang terbujur kaku di lantai kelas 9H itu. (Ia tak dapat menemukan rasa lega sedikitpun meski bukan Pipit dan Dewi yang tergeletak di sana.) Bianca terbaring di bawah papan tulis, sedang Alfa di meja guru. Merah darah tampak menyelimuti sebagian kelas, beberapa terciprat ke atas meja dan papan tulis. Pemandangannya sungguh tak mengenakkan—tak ada satupun dari mereka pernah menyaksikan tempat kejadian perkara secara langsung.
Syarifah tidak menunggu waktu sampai akhirnya ia muntah di wastafel depan kelas. Tak sedikit memang yang merasa mual dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Namun kebalikannya, Anggra dan Annisa menunggu Anggi selesai, lalu masuk, dan mengatakan banyak hal pada Bianca seakan ia masih bernyawa, mendengarkan dan menjawab ucapan mereka.
Febi tak pernah menginjakkan kaki di kelas itu, bahkan tak sampai 50 senti darinya. Kursi bobrok Taman Randu rupanya lebih menarik daripada kelas dengan cat hijau itu. Ia duduk, menaruh wajah di dalam tangkupan tangan. Ia bersalah. Jelas ia merasa bersalah.
Cikha, Nesya, dan Desy melingkar di sekelilingnya, dengan Desy yang duduk di atas tanah. Semua bertatapan suram.
"Feb, yuk." Nesya menarik lengan Febi, tapi Febi buru-buru menepisnya (ia tak begitu sadar saat itu karena terlalu sedih) dan mengusap matanya sebelum mengangguk dan berjalan bersama yang lain.
.
.Di kantin, entah bagaimana, telah tersedia 30-an mangkok berisi soto ayam. Kebanyakan berpikir dua kali untuk memakannya—siapa tahu pelaku berpikir ulang untuk membunuh mereka semua bersama-sama. Jumlahnya pas, 35 mangkok, dan hal tersebut saja bisa membangkitkan suasana suram kembali. Hari-hari berikutnya pasti akan terasa lebih kosong karena lama-lama jumlahnya akan berkurang, dan terus berkurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[completed] CURSED CLASS: WEREWOLF GAME
Misterio / Suspenso[Highest rank: #37 in Mystery/Thriller] 'Kelas Terkutuk dalam Angkatan Terkutuk' selama ini hanya diucap dalam anggapan konyol; beberapa mungkin menganggapnya serius namun dalam konteks lain, seperti 'Adek kelas wisata kita kok nggak?' atau 'Bangkek...