Abhista tengah duduk di Taman Randu, menatap kertas riddle yang ditemukan Pipit di sela-sela pintu aula sesaat setelah pembakaran selesai. Ia ingin berkonsentrasi, namun sesekali ia merinding membayangkan kelas Fadhil dan Dewi di lantai dua... Tulisan di atas kertas tadi rasanya buram. Lama-lama sekolah ini digerayangi bau busuk mayat.Di antara perasaan bingung dan mual itu akhirnya ia berhasil membaca kembali. Tulisan 'Satu dan dua, pertama dari ke-12' terlihat, dan sebelum bau amis memenuhi pikirannya lagi, ia berjalan ke arah perpustakaan. Febi dan Tata menghampirinya dari belakang.
"Riddle kemaren ta?" Ketiganya memasuki perpustakaan yang saat itu tenang. "Yang ga jelas?" tanya Tata.
"Dari dulu juga riddle ga da yang jelas," timpal Abhista sembari menarik kursi untuk dirinya sendiri. "'Satu dan dua, pertama dari dua belas'... Apaan."
Febi mengambil alih kertas itu sementara Abhista membolak-balikkan halaman Ensiklopedi Keajaiban Dunia yang sepertinya ditinggalkan oleh anak yang sebelumnya duduk di situ. Matanya menelusuri setiap ilustrasi yang ada di sana; Kaisar Qin Shi Huang Ti, Taj Mahal, Borobudur dan para petani yang menemukannya terkubur dalam abu Merapi, bahkan satu halaman ganjil yang menampakkan Great Barrier Reef di Australia. Abhista tak ingat jajaran koral-koral ini termasuk keajaiban dunia. Ato emang iya, ya?
Tapi membaca bagian ini membuatnya berpikir sekilas; bahkan Great Barrier Reef pasti pernah terkena badai dan topan, dan mereka berhasil mengembalikan warna-warni kembali. Namun mereka, yang mengalami gejolak emosi dan segala trauma; mampukah mereka kembali seperti semula?
"Eh."
Dikejutkan Tata yang menginterupsi pemikirannya barusan, Abhista mendengus. "Pa?"
"Gambar bayi ini," Tata menunjuk sebuah ilustrasi seorang bayi yang ala kadarnya—memakai popok, membawa botol susu, dan rambut yang hanya segaris—di ujung kertas, "ga mungkin cuma gambar asal, 'kan?"
Abhista memperhatikan gambar itu. "... Bisa jadi," katanya. "Terus?"
"Duh goblok." Febi menyilangkan tangan, menggeleng-gelengkan kepala. "Anak! Inget ga Pak Dudung sama Mumtaz? Nama anak mereka. Eli Rahmawati, Sherina Laila. Satu dan dua, pertama dari ke-12!"
Abhista mengernyit. "2017 masih ada aja 12 bersaudara?"
"Anjer." Tata berusaha keras menahan diri agar tidak menonjok anak ini. "Huruf nama mereka. Huruf di nama mereka ada 12. 'Satu dan dua' itu urutan riddle yang udah kita dapet, 'pertama dari ke-12' itu mereka! Huruf E sama S! Kalo tau aku bisa ngerjain gini kemaren juga kamu bakal tak bakar ketimbang Ejak. Sakno pek."
Abhista menggerutu. "Aku bukan Ww."
"Udah tau," jawab Febi. "Canda doang. Ntar kamu yang umumin dua huruf tadi ke anak-anak, oke? Aku ga suka ngomong di depan anak banyak."
"Jangan aku juga." Tata berdiri, menepuk-nepuk roknya. "Udahan dulu, mau jalan-jalan. Daah."
Tata kemudian melenggang keluar perpustakaan, berjalan ke arah kanan, namun Febi dan Abhista tak tahu persis ke mana tujuannya. Perpustakaan kembali tenang. Di belakang ada Iman dan Sandi yang tengah kasak-kusuk entah apa.
Febi tampak ragu, ingin memberitahu Abhista sesuatu. Ia bolak-balik menoleh ke arah belakang dengan cemas. Abhista dibuat heran, namun ia sendiri tak begitu peduli. Paling juga bentar lagi Febi cerita, begitu pikirnya.
"Jadi, Bis," Febi akhirnya mendekat dan berbisik, menghindari kemungkinan Iman dan Sandi di dua meja di belakang mereka mendengar, "aku Guardian."
Lepas dari bayangan Febi bahwa Abhista akan menganga terkejut, laki-laki itu justru menghela napas dan tampak sama sekali tak acuh. "Ga ngurus."
KAMU SEDANG MEMBACA
[completed] CURSED CLASS: WEREWOLF GAME
Mystery / Thriller[Highest rank: #37 in Mystery/Thriller] 'Kelas Terkutuk dalam Angkatan Terkutuk' selama ini hanya diucap dalam anggapan konyol; beberapa mungkin menganggapnya serius namun dalam konteks lain, seperti 'Adek kelas wisata kita kok nggak?' atau 'Bangkek...