[8] Satu Lagi

234 48 23
                                    


Ucapan 'Ciee, bisa nyelamatin orang' terdengar ketika Febi menepuk pundak Desy dengan tatapan sinis. Dengan segala kebencian yang pernah ia berikan pada orang lain, Desy terhujam empat kata yang ia katakan, dan seketika diam setelah asyik tertawa bersama Nesya. Febi semakin marah ketika mengetahui kedua siswi itu masih sempat saja tergelak ketika jumlah murid yang tersisa hanya 16 anak.

Santapan pagi hari ini juga berbeda. Pelaku sepertinya ingin merayakan keberhasilan Werewolf yang dengan cepat menemukan Cursed mereka, namun kebanyakan menganggap Guardian telah berhasil menyelamatkan kelas sekali lagi. Ayam goreng, lengkap dengan sambal dan sebuah tempe tersaji di atas setiap piring. Iman bahkan mendapat ekstra satu tempe. Entah hal ini penting atau tidak, ia tetap saja memamerkannya pada Sandi.

Di ujung, Yunda memakan habis sarapannya dengan bahagia. Karirnya sebagai Apprentice Seer sepertinya cukup baik. Semalam, yang notabenenya pertama kali ia mendapat peran itu, ia langsung mendapat konfirmasi bahwa orang yang ditunjuknya adalah Werewolf. Dengan sepenuh hati ia meyakini jalan di depannya bergelimang keberhasilan jika orang yang ditunjuknya selanjutnya juga seorang Werewolf.

Mereka menghabiskan sarapan mereka dengan lambat, seolah tak ingin makanan mereka habis begitu cepat. Namun demikian, pukul delapan pagi mereka sudah meninggalkan kantin dan berhambur ke mana-mana.

Abhista sudah berada di perpustakaan satu menit setelah menaruh piringnya di meja hijau. Ia mengeluarkan kertas riddle kemarin dari sakunya, membacanya sekali lagi.

"R-4..."

"Bis."

"Anjing." Ia langsung membalikkan badan ketika sebuah suara menyapanya. Dari belakang Pipit muncul, seperti biasa, menggerakkan tangannya gelisah. "Setan. Lapo?"

Pipit, sepertinya agak tersinggung dengan umpatan bertubi yang dilontarkan Abhista padanya, menyipitkan mata. "Itu," dia menunjuk kertas yang dipegang Abhista, "kertas riddle dari Tata kemaren, 'kan? Aku ikut nyari po'o."

Abhista harus memaklumi hal ini. Pipit selama ini selalu menempel dengan Dewi, yang mana sudah meninggal beberapa hari lalu—dan kalau Abhista boleh menambahkan, dengan sadis tak kepalang. Potongan lidah yang tergeletak di atas meja membangkitkan kengerian kembali, namun Abhista buru-buru mengatasinya. Dengan sebuah anggukan kecil ia menyerahkan kertas tadi kepada Pipit.

"Rak 4?" tanya Pipit. "T itu apa, ya..." Ia berjalan menyusul Abhista ke arah rak bernomor empat, dan melihat kode-kode yang tertempel di setiap tingkatan rak. "Tingkatnya?"

"Paling." Abhista mengangkat bahu. "Itu T berapa?"

"T-2," jawab Pipit singkat. Keduanya langsung mengecek tingkatan kedua rak itu, yang berisi buku-buku bersampul tebal yang tampaknya ensiklopedia. Nesya pernah meminjam satu dari rak ini untuk ia jadikan alas tidur. "Terus B-142."

Abhista melihat kode nomor buku yang ditempel di setiap sampul buku. Urutan buku-buku itu tidak berurutan, nomor 130 di sebelah 154, nomor 144 di sebelah 160... Dan setelah dua kali menelusurinya, Abhista masih tak mampu menemukan buku bernomor 142. "Ga ada."

Pipit mengernyit. "Ada yang naruh asal, kali? Biasanya anak-anak 'kan pada minjem terus ngembaliinnya ngasal..."

Dengan helaan napas kasar, Abhista langsung menyahut, "Berarti kita kudu nyari di semua rak ini. Oke." Pipit mendengus. "Aku di rak 1 sama 2, kamu cari di rak 3 sama 4."

Waktu terus berlalu. Menit demi menit, buku demi buku, masih belum ada jawaban. Tidak ada buku bernomor 142 yang terselip di antara kamus-kamus tebal, atau di antara novel-novel lama, atau di antara tumpukan buku pelajaran.

[completed] CURSED CLASS: WEREWOLF GAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang