[5] Pertengkaran

350 45 22
                                    


Febi tak terlihat di kantin pagi itu. Padahal—untuk pertama kalinya dalam lima hari—menu sarapan mereka adalah nasi goreng, setelah berhari-hari makan pagi dan malam berupa soto. Sepertinya pelaku tahu kalau semalam tak ada pembunuhan yang terjadi, dan berbaik hati kepada para Villager untuk turut merayakan hal ini. Mau tak mau Desy harus terlihat senang sementara Iman merasa kelewat lega untuk tidak menyaksikan pembunuhan sekali lagi.

Ke mana perginya Febi, mereka tak tahu. Antok sendiri baru diketahui menghilang setelah mereka sampai di kantin dan mengambil piring. Mereka hilang, sepertinya tepat setelah sholat subuh selesai dilaksanakan.

Sebenarnya, mereka tak jauh, hanya sedang berdiskusi di perpustakaan. Febi ingin mendiskusikan hal ini setelah mengetahui tak ada murid yang absen pagi itu. Hal ini bisa jadi berarti dua hal; pertama, yaitu mereka berhasil melindungi salah satu di antara Iman-Desy atau Keplek-Pasa, sehingga tidak terjadi pembunuhan. Atau, kedua, dua dari mereka adalah Werewolf. Antok percaya pilihan pertama, Febi yang kedua.

"Sumpah Tok, kalo misal emang salah satu dari mereka Ww-nya, kita bisa nyelesein ini dalam dua malem!" Febi bersikeras. "Satu orang dibakar malem ini, besok satu lagi, selese!"

"Terus kalo misal kamu bakar Keplek sama Pasa, tapi ternyata Ww-nya Iman sama Desy, kita bakal tetep butuh 4 malem buat nyelesein, 'kan?" elak Antok. Ia masih tak yakin dua dari mereka adalah orang-orang membunuh tiap malamnya. "Apalagi kalo ternyata mereka cuma Villager yang kita lindungin, terus ternyata Ww-nya malah masih hidup!"

"Tok, kita kudu ambil risiko." Febi berkata serius. "Kalo kita ngomong gini terus, mungkin ga bakal ada yang tau kalo Werewolf-nya antara Iman-Desy atau Keplek-Pasa—"

"Aku ga pernah bilang kalo Ww-nya mereka."

"Anggep aja gitu," ucap Febi jengkel. "Ayo ta, kita bisa bantu yang lain tetep hidup kalo kayak gini!"

Antok menggelengkan kepalanya. "Kalo emang gitu, berarti kita juga buka identitas, Feb. Kita bakal dibunuh nanti malem."

Febi tersenyum, yakin sekali akan jawabannya. "Kita ga bakal kebunuh, asal kita ngunci kelas yang sama kayak tadi malem." Ia berjalan ke arah pintu kaca perpustakaan. "Nah, mumpung anak-anak masih pada di kantin, kita bisa ngumumin soal ini langsung. Aku yo laper."

Antok mendengus, tak percaya Febi benar-benar memutuskan perkara ini seorang diri. Dengan sangat tidak yakin ia mengikuti langkah Febi keluar, memakai sepatunya, dan berjalan ke arah kantin dengan lambat dan tidak semangat. Kalau sampai Febi membuat keputusan yang salah, dan membuat mereka terbunuh malam ini... Entahlah, Antok tak sampai hati berkata untuk membunuhnya.

Pintu yang menutupi kantin sekarang terbuka lebar, menyambut kedatangan Febi dan Antok dengan suitan-suitan penasaran. Febi melangkah mantap, namun Antok sungguh tak ingin menyentuh barang seubin pun lantai kantin. Ia memilih berlama-lama ria melangkah masuk, sedangkan Febi sudah mulai berbicara dengan keras, memastikan mereka yang duduk di ujung sana ikut mendengarkan.

"Ww-nya," kata Febi, seketika mendiamkan gurauan para murid. "Ww-nya antara Iman-Desy atau Keplek-Pace."

Semuanya beku. Suasana menjadi lebih sunyi daripada ketika tadi Febi mengucap kata 'Ww-nya'. Mereka saling bertolehan, namun anehnya, tak ada satu pun yang menatap Iman, Desy, Keplek, maupun Pasa. Semua tatapan mengarah pada Febi dan Antok yang kini berdiri tepat di depan pintu.

Febi lupa kalau menghilangnya mereka barusan sudah cukup untuk membuat seisi kelas curiga padanya dan Antok. Ia berjalan suram ke arah jajaran piring di meja warna hijau setelah Antok berkata pelan; "Tuh, 'kan."

.
.

Anggi berdiri diam di depan pintu aula. Di sebelahnya berdiri Yumna yang tengah menyiapkan diri untuk menghadapi bau mayat yang semakin kentara. Ia akan meminta tolong anak-anak lain untuk memindahkan mayat teman-temannya nanti, entah ke mana, yang penting bukan di tempat ini. Ketika pintu terbuka, mayat Rindang dan yang lainnya masih berada di tempat—tidak seperti bayangan mereka kemarin, berjalan mengitari aula dan menembus tubuh setiap anak yang memilih untuk membakar mereka.

[completed] CURSED CLASS: WEREWOLF GAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang