[3] B dan Garis Aneh

461 51 27
                                    






Lucky bahkan tak sempat melontarkan gurauan. Pintu kelas tiba-tiba saja membuka, menampilkan dua sosok jangkung yang membawa pisau; tapi satunya lagi juga membawa gunting. Ia bergidik ngeri, begitupula Amila yang baru saja memasukkan laptopnya ke dalam tas.

"Ndeh." Lucky ternganga. "Iman. Desy."

Iman tak sampai mengucapkan halo. Desy mengibaskan tangannya, lalu duduk di undakan depan kelas. "Halo."

"Hai," sahut Lucky, duduk kembali di kursinya.

Amila tahu persis ia tinggal menunggu menit sampai pisau atau gunting yang dibawa kedua Werewolf mengakhiri riwayatnya. Sambil menatap Desy yang kini mengobrol santai dengan Lucky, ia mengendap ke arah pintu dari sela-sela kursi. Sesekali ia berhenti untuk berpura-pura menyimak sekaligus menghindari tatapan curiga Iman yang kebagian tugas berjaga di dekat pintu.

"Nah, gimana kalo kalian bebasin kita aja, terus bunuh Bonong. Tadi dia ngaku sendiri kan kalo dia Seer?"

"Lah, minta nego dia." Desy terkekeh. "Man, dia minta diskon."

Iman mengendikkkan bahunya. "Yauda kasi aja."

"Yaelah pinteran dikit kek—Man—Amila mau kabur!" pekik Desy, menunjuk ke arah pintu yang sudah terbuka seperempat.

Iman berputar, cepat-cepat menyambar tangan Amila dan menjauhkannya dari pintu. Perempuan itu meronta, merasa dikhianati udara malam yang baru menyapa wajahnya sepersekian detik. Andai saja Desy tak menyadarinya... Semua penghuni mungkin akan keluar dan mengetahui bahwa Iman dan Desy adalah sang Werewolf...

"Jangan bunuh aku, plis..." Ia merintih, tak mampu menengadah untuk menatap Desy, bahkan memelas pada Lucky sekalipun.

"Yah, terlanjur dateng ke sini, Mil," kata Desy, berjongkok di depannya dengan gunting di depan wajahnya. Amila menangis. "Gimana? Gunting? Apa pisau?"

"Des, korban bukan mainan." Iman memperingatkan. Desy mengangguk.

"Oke." Desy bangkit, mundur selangkah. "Btw, Man, kain dari gudang masih kamu bawa?"

Iman menunjukkan gulungan panjang kain di saku celananya. "Nih." Dia melemparnya ke arah Desy.

"Trims." Desy membuka gulungan itu. "Bentaran—Luk, jangan kabur, Iman tolong jagain." Lucky yang barusan berniat mengikuti jejak Amila mundur kembali.

Desy asyik mengukur dan menggunting kain tadi. Lucky meliriknya dan Iman, berharap suatu keajaiban terjadi di mana Iman lebih tertarik pada kerjaan Desy daripada menjaga pintu. Amila masih terduduk di depan kelas, tak lagi menangis, namun memandang ketakutan tangan Desy yang bergerak menggunting kain putih panjang itu tadi.

"Ini," Desy menyerahkan selembar kain panjang yang telah diikat simpul pada Amila yang masih tersedu, "buat Amila. Yang ini," satu kain lagi ia serahkan pada Lucky, "buat Lucky. Udah sana gantung diri."

Lucky, Amila—bahkan Iman—terbelalak.

"Tapi dia," Desy menunjuk Lucky, "harus ngelakuin samting dulu."

"Desy gendeng."

.
.

Pagi itu jelas tak setenang pagi kemarin. Selepas sholat subuh mereka langsung menuju kelas 9A, kelas tempat Lucky dan Amila yang diketahui tidak datang pada sholat tadi. Banyak yang memilih tidak ikut, mempertimbangkan pemandangan TKP kemarin pagi. Hanya ada Iman, Desy, Yumna, Kean dan Mesayu yang berangkat ke sana.

Ketika pintu berderit terbuka, Yumna seketika menjerit tak karuan. Tubuh Lucky yang tergantung kaku berada tepat di depan pintu—menutupi sebagian kelas dari luar dengan tubuh besarnya. Yumna gemetar. Desy memeganginya.

[completed] CURSED CLASS: WEREWOLF GAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang