Minggu pagi.
Jam setengah lima pagi tadi aku sudah bersiap-siap untuk jogging. Kuambil kaos tank-top warna mocca milikku. Memakai celana training pendek dan mengikat ekor kuda rambutku. Tak lupa kuraih saputangan dan kulingkarkan di leher. Lalu aku berjalan keluar kamar.
“Ma, Becca lari pagi ya.” Pamitku.
“Sama siapa? Kok pagi bener?” tanya Mama.
“Sama temen. Iya, kalau larinya siang namanya lari siang dong. Bukan lari pagi. Mama ini bagaimana sih.” Jawabku sambil tertawa. Mama ikut tertawa.
“Ya sudah, hati-hati ya.” Kata Mama.
“Oke.” Jawabku sambil melangkah keluar rumah. Kepalaku celingukan mencari sosok Rafael.
“Hei, sudah lama?” tanya Rafael saat ia tiba di rumahku.
“Nggak kok, baru dua jam.” Jawabku.
“Buahahaha.”
Ia tergelak. Wajahnya bermandikan keringat. “Kamu baru darimana?” tanyaku.
“Ayo kita berangkat.” Ajaknya tanpa menghiraukan pertanyaanku. Aku mengikuti langkahnya.
Kami berlari santai agak lama. Akhirnya aku menyadari bahwa aku tidak mengenali tempat kami berada sekarang ini.
“Ini dimana?” tanyaku. Rafael tersenyum.
“Udah, liat aja nanti.” Jawab Rafael.
Kali ini kami mendaki bukit landai yang membuat kakiku mulai terasa pegal. Aku baru tahu kalau di dekat perumahan kami ada bukit-bukit seperti ini. Aku berhenti sebentar untuk mengatur napas.
“Kenapa? Kamu capek?” tanya Rafael. Aku mengangguk.
“Haus.” Jawabku.
“Udah, bentar lagi kita sampai kok.” Hibur Rafael sambil mengeluarkan senyum mautnya dan membuatku kembali merasakan secercah semangat. Jadi aku mulai melangkahkan kaki lagi.
Kami sudah hampir sampai di puncak bukit tersebut. Dari kejauhan aku melihat sebuah motor yang sepertinya kukenal. Motor Rafael!
Kami tiba di puncak.
“Wow!” ucapku terkesima. Pemandangan yang menakjubkan. Sun rises! Waktu kami tiba di bukit itu bertepatan dengan terbitnya matahari.
“Cantik sekali.” Gumamku dan aku merasa butiran air mengalir dari mataku. “Thanks God.”
Aku melihat sekelilingku mulai dari ujung ke ujung. Semuanya indah! How great Thou art!
“Rafael, cantik banget!” seruku. Rafael mengambil tempat di sampingku. Aku memeluk Rafael saking senangnya. “Makasih ya.”
“Iya, sama-sama.” Jawab Rafael.
Rafael melangkah menuju motornya. “Nih.” Kata Rafael seraya menyodorkan dua botol minuman segar.
“Thanks.” Jawabku sambil meraih sebuah botol.
“Jadi tadi aku telat karena harus ke sini dulu, baru ke rumah kamu lagi.” Sahut Rafael. Aku tertegun.
“Aduh, nggak perlu repot-repot gini kali.” Kataku.
“Ya, nggak apa-apa sekali-kali. Pasti kamu belum pernah ke sini kan?”
“Iya, aku malah baru tahu dan sama sekali nggak nyangka di deket rumahku ada yang beginian.” Jawabku sambil berdecak kagum.
“Makanya jangan ngurung diri di dalam rumah terus. Hahahaha.” Ledek Rafael. Aku merengut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rebecca's Story: Will You Marry Me
Teen FictionRebecca, gadis yang sedang kuliah di jurusan Desain Grafis pergi menonton bioskop bersama kedua sahabatnya, Nindya dan Prima. Beberapa orang laki-laki menabrak mereka, namun ada seseorang yang berbeda. Cowok itu tenang dan tidak grasa-grusu seperti...