Bridal itu besar, megah dan elegan. Bridal ini milik kenalan Tante Ruth. Kami di sini sedang memperbincangkan pakaian apa yang harus kugunakan untuk pernikahan kami, yang dilangsungkan dua minggu lagi.
Sudah sejak tadi aku menyaksikan perdebatan antara Mama, Tante Ruth, Mama Rafael, dan Nindya juga Prima melalui cermin. Mereka memperdebatkan gaun pengantin mana yang harus kupilih.
Ada empat nominasi pengantin yang ditawarkan kepadaku dan sekarang aku yang bertugas untuk memutuskan.
Yang pertama gaun dari Mama, gaun dari berbahan sutera putih dengan aksen di bagian dada berbentuk aplikasi brokat dan mote. Di bagian bawah, dihiasi renda-renda putih dan sentuhan emas. Model lengan tiga perempat dari bahan chiffon putih dipadu dengan renda emas yang dikombinasikan pita dari sutera.
Yang kedua gaun dari Tante Ruth, kali ini gaun yang dibuat dari kain taffeta berwarna champagne yang licin, jujur aku kurang suka gaun dari Tante Ruth.
Yang ketiga nominasi dari Mama Rafael, kain polos nan lembut dari bahan dasar sutera. Aku suka gaun simpel berwarna ivory ini. Tentu aku akan memilih ini jika gaun ini tidak dirancang strapless.
Yang terakhir adalah gaun dengan kerah tinggi tanpa lengan dengan rok ball gown bertumpuk yang bergaya Victoria yang merupakan usulan dari Nindya dan Prima.
“Semuanya cantik. Tapi kenapa satu pun tidak ada yang memakai lengan? Punya Mama berlengan tetap aja pundaknya terbuka.” tanyaku. Mereka semua menggerutu.
“Tante lupa kalau kamu paling benci gaun tidak pakai lengan.” Gumam Tante Ruth. Sementara yang lain ikut mengangguk-angguk sambil menepok jidat masing-masing.
“Masa dari antara semua gaun ini tidak ada satu pun yang menarik hati kamu?” tanya Mama.
“Mm, aku suka yang ini..” tunjukku pada gaun yang dibawakan Mama Rafael. Mama Rafael tersenyum.
Yang lain mencibir.
“Mentang-mentang calon mertua..” gerutu Prima.
Aku tertawa. “Bukannya begitu. Hanya saja gaun ini yang terlihat paling simpel. Tapi tetap saja kalau gaun ini terbuka.”
Aku hanya bisa tersenyum sambil cekikikan melihat perdebatan antara orang-orang yang paling kusayangi itu.
Well, tepat dua minggu dari sekarang aku dan Rafael akan melaksanakan pemberkatan pernikahan kami di gereja tempat kami biasa beribadah.
“Mm, jadi bagaimana?” tanya John, pemilik bridal ini.
Tante Ruth menoleh ke arahku. Aku mengangkat bahu. Tapi, mataku benar-benar tidak bisa lepas dari gaun yang berada dalam genggaman Mama Rafael.
“Aku suka ini.” Kataku, lagi-lagi menunjuk gaun yang dipegang oleh Mama Rafael. “Tapi, bagaimana cara membuatnya supaya tidak terkesan terbuka?” pikirku.
“Aku tahu!” sorak Tante Ruth dan seketika ia menghilang dari pandangan. Sepertinya ia buru-buru pulang ke rumah.
“Sambil menunggu Tante Ruth, nggak ada salahnya kalau kamu mencoba gaun ini.” Saran Mama. Aku menurut dan melangkah masuk ke dalam kamar pas.
Dengan berhati-hati aku mengenakan pakaian pengantin itu–yang bahannya memang sangat lembut.
Cocok.
“Becca, sudah selesai? Coba kamu keluar.” Perintah Mama. Aku melangkah keluar dengan pelan-pelan. Semua mata memandang ke arahku–dan tentu saja hal itu benar-benar membuatku semakin gugup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rebecca's Story: Will You Marry Me
Teen FictionRebecca, gadis yang sedang kuliah di jurusan Desain Grafis pergi menonton bioskop bersama kedua sahabatnya, Nindya dan Prima. Beberapa orang laki-laki menabrak mereka, namun ada seseorang yang berbeda. Cowok itu tenang dan tidak grasa-grusu seperti...