Bab X - Stand Up For Love

1.5K 64 0
                                    

Bulan ke sebelas.

Hampir genap setahun sudah aku kehilangan kontak dengan Rafael. Aku jenuh setengah mati. Karena itu, aku tidak berniat untuk menghubunginya lagi. Walaupun kadang kenangan saat bersama dia itu menyerang.

Rafael benar-benar tidak pernah menghubungiku lagi! Kenyataan ini membuat lubang di hatiku semakin menganga. Sakit!

Walaupun berbagai nasihat sudah kudengar, tetapi tetap saja aku tidak bisa melupakan Rafael.

Sabtu ini aku tidak berangkat ke kantor, untuk magang. Aku berniat membereskan kamarku. Jadi, aku mulai membongkar isi lemari ketika aku terbangun pagi ini. Aku menoleh ke arah jam dinding, masih subuh!

“Masa bodo, ah.” Pikirku cuek.

Jadi aku mulai memisahkan semuanya. Tas kulit, tas rajut, syal, beberapa topi kupluk, sarung tangan, sweater, beberapa sepatu kets, sampai seluruh pakaian–baik itu celana maupun kaos yang jarang kupakai. Sampai aku menemukan kaos itu,

My Heart.

Kaos dari Rafael. aku kembali teringat memori saat aku dan Rafael memakai couple shirt itu bersama-sama. Aku mengerjapkan mata, lalu menghela napas.

“Aku harus move on!” tekadku dalam hati.

Lalu aku menyisihkan kaos itu dan kuselipkan pada tumpukan paling bawah.

Seluruh barang-barang itu kutumpuk ke dalam beberapa keranjang terpisah, masing-masing menurut jenisnya.

Kuputuskan bahwa kaos dan celana akan kucuci menggunakan mesin cuci.

Selebihnya, hanya harus kurendam menggunakan deterjen. Untung saja Mama menggunakan cairan deterjen sekaligus softener untuk mencuci. Jadi, aku tidak perlu merendam pakaian dengan softener lagi. Karena seingatku, bahan-bahan dari kain wol tidak boleh disikat, apalagi dicuci menggunakan mesin.

Asik juga! kataku dalam hati sambil cekikikan.

“Becca?” panggil Mama yang terbangun karena mendengar suara berisik dari mesin cuci.

“Iya, Ma?” sahutku dari dalam kamar mandi.

“Kamu lagi apa sepagi ini?” ujar Mama terperanjat. “Kamu… nyuci?” tanya Mama dengan pandangan tidak percaya karena melihatku sedang berjongkok menyikat sepatuku.

“Iya Ma. Sekali-kali.” Jawabku.

“Duh, ada angin apa? Biasanya kan kamu paling males ke kamar mandi.”

“Duh, Mama ini. Nggak ada apa-apa, ma. Lagi pengen aja.”

“Hm, oke deh. Semangat!” sorak Mama. “Mama mau tidur lagi.”

Aku tertawa. Sudah bangun kok masih mau tidur? Aneh-aneh saja.

***

Ringtone-ku berbunyi. Rafael.

“Rafael menelepon.” Kataku datar.

“Mau apalagi dia?” tanya Prima sinis.

“Udah, biarin aja. Nggak usah diangkat. Pasti dia mau minta tolong lagi.” Sambung Nindya.

“Tapi.. aku nggak tega.” Gumamku.

“Niat mau move on nggak sih?” tanya Prima.

“Hm, ya udah. Angkat aja. Siapa tahu memang ada yang penting.” Usul Nindya.

“Loh, kamu kok jadi belain dia sih, Nin?” protes Prima. “Kalian jadi plin-plan. Males, ah.”

“Prima, jangan gitu dong, Sayang. Coba kamu jadi aku.” Bujukku dengan nada lembut.

Rebecca's Story: Will You Marry MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang