“Apa? PUTUS?!” pekik Mia di tengah-tengah keramaian warung kopi di Plaza.
Rafael mengangguk tenang.
“Aku rasa, aku sudah nggak ngerasain apa-apa lagi ke kamu.”
“Tapi, Rafa, setelah semua yang kita jalani bersama?” tanya Mia dengan tatapan tidak percaya.
“Apa yang sudah kita jalani bersama, Mia? Ada yang bisa kamu jelaskan, sekedar untuk mengingatkanku?” sahut Rafael.
Mia memutar bola matanya. Tidak ada apa-apa yang pernah kami jalani bersama, pikirnya dalam hati.
“Nggak ada kan?” tanya Rafael memastikan, seolah-olah ia tahu apa yang ada di dalam pikiran Mia. “Silahkan, kamu bisa pergi dari sini. Tenang saja, kali ini aku akan membayar.” Ucap Rafael dengan nada datar dan wajah dingin.
Mia merasakan bulu kuduknya berdiri, dan sebelum segala sesuatu berubah menjadi lebih buruk, ia beranjak dari tempatnya duduk. “Makasih!”
Rafael mengangkat bahu. Benar-benar tidak peduli.
Sementara di sudut warung kopi itu, dua orang gadis yang dari tadi menguping pembicaraan antara Rafael dan Mia terdengar gelisah.
“Aku nggak bisa bayangin bagaimana ekspresi Becca. Dia bakalan seneng atau sedih ya?” gumam Nindya.
“Eh, Prima? Nindya?” tegur Rafael saat Prima dan Nindya akan melangkah keluar dari warung kopi itu. Tanpa sadar, Prima dan Nindya berjalan melewati meja yang sedang diduduki Rafael.
“Eh, kamu. Ada apa?” tanya Nindya, mencoba ramah.
Rafael celingukan.
“Becca nggak ada.” Kata Prima dingin.
“Dia dimana?” tanya Rafael bingung. “Biasanya kan kalian bertiga.”
“Kami sudah mulai magang, Rafa.” Jawab Nindya sopan.
“Ohh, kalau boleh tahu, Becca magang dimana?”
“Apa sih urusan kamu di situ? Belum cukup buat Becca sakit? Sekarang, setelah dia bersusah payah ngelupain kamu, kamu mau muncul lagi di hadapan dia? Gitu?” hantam Prima bertubi-tubi.
Rafael terdiam.
“Maafkan aku. Aku emang bodoh banget pas itu. Mau mendengarkan kata-kata orang, bukannya kata hati sendiri.” jawab Rafael.“Aku baru sadar sekarang, ternyata siapa yang benar-benar kucintai.”
“Oh, dan sayangnya, kami semua sudah sadar itu lebih dulu! Dasar pecundang! Ayo, Nindya!” perintah Prima dengan kasar.
Rafael meraih lengan Nindya.
“Tolong,” pintanya.
Karena tidak tega, akhirnya Nindya memberitahukan alamat kantor Rebecca.
“Aku akan ke sana setelah ini.” Tekad Rafael.
***
Apa aku tidak salah lihat? pikirku dalam hati. Lagi-lagi aku mengerjapkan mata. Untuk memastikan siapa yang sedang memperhatikanku dari seberang jalan.
Rafael?
Dari mana ia bisa tahu tempatku magang?
Hampir setahun tidak bertemu, ia sudah berubah sama sekali. Wajahnya lebih bertekstur. Namun, sama sekali tidak mengurangi ketampanannya. Malah, ia semakin tampan, kurasa.
Untuk apa dia datang kemari?
Apa dia memang ingin bertemu denganku?
Atau dia ingin menjemput sanak saudaranya?
Haruskah aku menghampirinya?
Berbagai pikiran berkecamuk di dalam pikiranku. Apa yang harus kulakukan?
Aku menoleh ke arah jam dinding. Sebentar lagi jam pulang.
Itu artinya sebentar lagi sepupuku–yang tidak lain merupakan adik cowok dari Kak Enny, akan menjemputku, dan itu juga berarti aku tidak akan sempat menemui Rafael.
Beberapa bulan terakhir ini kami sudah mulai magang. Puji Tuhan, aku diterima di salah satu perusahaan advertising. Dan salah satu peraturan di perusahaan ini yang menjadi favoritku, yakni tidak adanya seragam!
Hooray!
Artinya aku bisa memakai baju apa saja dan berlagak ala orang kantoran seperti pada umumnya.
Kebetulan hari ini aku mengenakan kaos biru berlengan tanggung, yang kemudian kupadukan dengan rok bertingkat, ditambah blazer kulit berwarna biru jins milikku. Rambutku yang panjang dulu, kini sudah kupangkas habis. Kini rambutku panjangnya hanya sampai di bawah bahu, dan rambutku pun kukuncir sebagian, menyisakan sebagiannya lagi tergerai.
Bel pulang berbunyi.
Kuputuskan untuk tidak menemui Rafael. Aku keluar dan langsung menuju tempat dimana sepupuku yang kebetulan sekali berjenis kelamin lelaki sudah biasa menunggu-aku biasa dijemput dan diantar olehnya.
Rasain bagaimana dahsyatnya api cemburu! gerutuku dalam hati.
Aku melihat Rafael. Ia sedang menatapku. Jelas sekali bahwa ia kelihatan kecewa berat. Aku menyunggingkan sedikit senyum kepadanya. Sekedar untuk menghargai.
“Yuk, berangkat.” Ajakku tanpa menoleh ke arah Rafael lagi.
Jantungku… masih tetap berdegup semakin kencang. Apa artinya aku masih.. mencintainya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rebecca's Story: Will You Marry Me
Teen FictionRebecca, gadis yang sedang kuliah di jurusan Desain Grafis pergi menonton bioskop bersama kedua sahabatnya, Nindya dan Prima. Beberapa orang laki-laki menabrak mereka, namun ada seseorang yang berbeda. Cowok itu tenang dan tidak grasa-grusu seperti...