Summary:
Dunia sihir butuh seorang pahlawan. Namun, apa yang akan terjadi jika topi seleksi tak mau mempertimbangkan pilihan Harry Potter kecil? Bagaimana jika topi kumal itu meneriakkan 'Slytherin' untuk Harry? Apakah kisah penyelamat dunia sihir itu akan berubah sepenuhnya? / "Tidak, Potter. Aku akan menempatkanmu di sana. Tempat di mana kau seharusnya berada. SLYTHERIN!" / "Kau yakin dia sanggup beradaptasi di sini? Santo Potter itu—" / "Akan kulakukan apa pun untukmu. Apa pun. Kumohon ubahlah aku, Malfoy." / "Kau bilang apa pun, kan?" / DRARRY! Read and review, please.
.....
—dan Salazar, tolong ingatkan kenapa ia mau menyongsong kematiannya sendiri?
Langkah kaki teredam. Ujung jubah gaib bergesekan. Obor menyala di sepanjang dinding. Bahu sampai pinggang saling berhimpit. Kepala merunduk. Helai rambut sekali dua kali menghalangi pandangan. Hela napas— keras, terlalu keras untuk diabaikan.
"Malaikat maut itu laki-laki atau perempuan?" dan pertanyaan konyol yang menyertainya, sejatinya adalah bagaimana mereka berinteraksi selama nyaris setahun ini. Selalu, setiap kali konversasi itu bermula, antara makian atau basa-basi yang menjurus ke makian— oh, resmi seri.
Dan Harry juga resmi gila, setidaknya menurut Malfoy. Jadi mereka impas. Sama-sama gila, maksudnya.
"Aku penasaran, walaupun sebentar lagi aku akan melihatnya. Kalau perempuan, apa dia cantik?" masih berlanjut, Slytherin itu kukuh kalau sudah urusan intimidasi. "Kalau aku jatuh cinta pada malaikat maut, apa aku akan dibawa ke surga? Mungkin aku bisa pacaran dengannya, mengingat aku mati sebelum punya pacar satu pun."
Kacamata. Bekas luka istimewa. Iris hijau keras kepala.
"Kalau begitu kau boleh memacariku, Malfoy."
Dengusan familiar. Berdengung di telinganya. Ia tidak menangkap nada bercanda, kendati balasan sengit itu jelas tidak bemakna harfiah— tidak, tentu saja tidak. Jangan konyol.
"Kenapa diam saja? Lakukan sesuatu— beri aku bunga atau semacamnya. Oh, lihat sekarang tanggal berapa? Kau harus ingat hari jadian kita."
Mungkin sumpah serapah yang disamarkan dalam lelucon, atau Harry hanya mau mencairkan suasana menjelang kematian mereka.
"Malfoy, sweetheart, kau dengar aku, kan?"
Langkah kakinya sendiri terhenti. Tatapan jengkel. Melesat mulus, menembus kacamata bodoh lawan bicaranya.
"Sebelum mati, ayo kita damai saja— dan siapa yang bilang aku mau pacaran denganmu?"
Harry memutar mata, kentara dari samping. Sekali pun mereka gelap-gelapan, sempit-sempitan, dan berbagai macam kondisi memuakkan lainnya yang hanya bisa ditemui selagi berada di bawah perlindungan jubah gaib— dalam perjalanan memacari malaikat maut, Malfoy mendengar jelas gumaman bosan itu.
"Terserah."
Gertakan antar rahang. Terserah. Malfoy menyumpah dalam hati. Sudah bagus ia mau menuruti permintaan tak masuk akal rambut hitam itu tadi sore— memintanya ikut bunuh diri. Oh, tambahan, sebelum bunuh diri berlangsung, ia juga diharuskan melawan anjing berkepala tiga dan entah-sihir-mematikan-apa yang dipasang guru-guru Hogwarts.
Seakan Alohomora atau Wingardium Leviosa bakal berguna saja, mengingat level mereka yang jauh— jauh sekali, berbeda.
Lagipula, memang hanya dua mantra sialan itu yang diajarkan pada murid tahun pertama. Yeah, sekiranya pasti bisa membantu mereka menembus perlindungan super ekstra si batu bertuah, kan? Ha-ha-ha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Change Me, Malfoy
Fanfiction[WINNER OF #WATTYS2018: THE REVISIONIST!] [COMPLETED] Dunia sihir butuh seorang pahlawan. Namun, apa yang akan terjadi jika topi seleksi tak mau mempertimbangkan pilihan Harry Potter kecil? Bagaimana jika topi kumal itu meneriakkan 'Slytherin' untuk...