Final

11.5K 1.2K 55
                                    

Summary:

Dunia sihir butuh seorang pahlawan. Namun, apa yang akan terjadi jika topi seleksi tak mau mempertimbangkan pilihan Harry Potter kecil? Bagaimana jika topi kumal itu meneriakkan 'Slytherin' untuk Harry? Apakah kisah penyelamat dunia sihir itu akan berubah sepenuhnya? / "Tidak, Potter. Aku akan menempatkanmu di sana. Tempat di mana kau seharusnya berada. SLYTHERIN!" / "Kau yakin dia sanggup beradaptasi di sini? Santo Potter itu—" / "Akan kulakukan apa pun untukmu. Apa pun. Kumohon ubahlah aku, Malfoy." / "Kau bilang apa pun, kan?" / DRARRY! Read and review, please.

.....

Pansy Parkinson akan jadi yang pertama kali menyumpahinya kalau ia berhasil selamat dan kembali ke asrama esok pagi.

Kemudian Theodore Nott, berikut Vincent Crabbe, lalu Gregory Goyle.

Mungkin Severus Snape, yang katanya sedang berburu batu konyol itu sekarang, malah akan membunuhnya lebih dulu.

Malfoy menarik napas dan mengembuskannya dengan jengkel. Jemari kakinya yang dibungkus sol sepatu itu bolak-balik mengetuk permukaan lantai. Lirikan ke arah arloji tidak bisa dihitung saking tidak terhingganya. Rasanya terlalu tenang. Draco memang suka keheningan. Tapi kalau disuruh memilih sih, ia lebih memilih mendengar Parkinson mengoceh ketimbang mendengar desingan pedang milik pion-pion raksasa sialan ini. Kemudian mengingat Parkinson membuatnya mengingat juga kata-kata dramatisnya yang tidak berguna. Selepas malam ini, mungkin cewek itu akan menyerocoskan daftar kalimat tidak berguna (lagi) yang harus Malfoy dengar.

Itu pun kalau ia bisa selamat. Saat ini, ada sejuta alasan yang bisa menyebabkannya terbunuh. Termasuk tatapan hijau sialan, seperti biasanya.

"Apa?"

Yang disentak dengan sentimen balas mengangkat bahu, mengalihkan pandang. "Kau.. kelihatan depresi, Malfoy."

"Aku memang depresi."

"Oke."

Dua detik hening, Malfoy mendengus keras-keras. Mungkin terus bicara bisa mengalihkan benaknya dari: sepertinya cuma ia di sini yang enggan mati. "Sebenarnya poin utamamu yang mana?"

"Aku cuma mau bilang sebentar lagi semuanya selesai," Harry mendongkol, mengedikkan bahu ke arah Ron yang sedang berpikir, sejenak menetralkan emosi. Tidak ada yang bisa santai kalau bicara dengan Malfoy. "Ron paling jago soal catur."

Satu putaran mata. "Dan kau paling jago soal mengatakan hal-hal yang tidak berguna."

Tidak ada bedanya dengan Parkinson yang mungkin saja sedang menulis daftarnya di bawah tanah sana.

Hela napas. "Aku bicara karena kau kelihatan depresi."

"Aku memang depresi," Mafoy mengulang bosan. "Kau yang memaksaku cari mati di sini."

"Aku menawari, dan kau bilang ya."

"Karena kau kelihatan lebih depresi, Potter."

"Bagus," ketus Harry. "Satu sama sekarang."

Sekali itu Malfoy memutuskan untuk nyengir, mengusir jauh-jauh pikiran rasionalnya. Toh ia sudah terlanjur gila. "Kalau skor kita dihitung sejak dulu, pasti sudah lama aku menang."

Mendengus, "karena kau jago di bidang hina-menghina?"

"Karena kau bodoh di bidang hina-menghina."

"Kuharap kau mati."

"Kemungkinannya tinggi."

"Tidak berharap aku mati juga?"

"Kenapa harus?" Malfoy melempar pandang, sedetik lebih lama. "Kalau kau mati, mungkin aku akan kesepian karena tidak ada yang bisa kukalahkan."

Change Me, MalfoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang