Suara berisik jalanan mengalun bak musik latar belakang, menyambut riuh seakan mengejek seorang wanita si pemilik netra Amethyst yang terus menatap layar terang persegi di genggamannya.
'Hah~' Helaan nafas berat menguar terdengar memenuhi indra tiga manusia yang ada di dalam mobil Van hitam tersebut.
Kou dan Natsu yang berada di posisi pengemudi di depan, saling melirik satu sama lain sambil tak henti sesekali memperhatikan Nona mereka dari kaca spion.
"Sudah hampir dua minggu," suara lembut Hinata terdengar sendu. Jari-jemari lentiknya kembali menari di atas layar ponsel, mengetikkan sesuatu.
Tatapan prihatin terlihat di wajah Natsu sambil memandang wajah cantik majikannya. Ia tidak tahu harus berkata apa, untuk menghibur Hinata.
"Semua laki-laki memang brengsek!" Ponsel berlogo apel setengah itu dilempar begitu saja kesamping kursi kosong. Hilang sudah kesabaran Hinata.
"Sa-..saya tidak kok Hinata-sama," Entah apa yang ada dipikiran Kou.
Hingga dua pasang mata lavender memberikan tatapan tajam sebagai respon.Suara tawa canggung terdengar, "Ma..maaf," Kou sadar ia salah timing. Bukan saatnya Ia mencoba untuk bercanda mencairkan suasana.
Sejujurnya Hinata tidak terlalu ambil pusing perkataan Kou. Dia juga bukan tipikal orang yang gampang marah. Hanya saja, saat ini Ia sedang dalam suasana hati yang buruk.
Apalagi kalau bukan karena suami kuningnya— si Naruto brengsek sialan yang tampan.
Kembali matanya berpijar memandang kosong kearah jalanan melalui jendela. Kepala Hinata terasa pusing, mungkin akibat terlalu banyak memikirkan prianya di benua sana yang masih mengabaikan dirinya.
Hinata tahu dia tidak bisa menyalahkan Naruto disini, karena biar bagaimanapun dirinya yang salah. Sebagai seorang suami, wajar saja jika Naruto marah.
Tapi yang Hinata tidak mengerti, mengapa Naruto terus mendiamkan dirinya. Kenapa telepon, chat, pesan bahkan email Hinata tidak ada satupun yang dibalas pria itu. Dan lebih parahnya, tiga hari ini ponsel suaminya sama sekali tidak aktif.
Telapak tangan Hinata refleks terangkat, mengusap air mata yang mengalir dengan kurang ajarnya membasahi pipi. Ia benci saat titik kekesalannya selalu datang dengan cara seperti ini.
Terakhir kali mereka berjumpa hanya ada tawa dan kehangatan. Rasanya baru seperti kemarin mereka pergi menginap, berkencan seharian, saling bermesraan dan bercinta di segala tempat seakan hari esok akan kiamat.
Masih hangat di benak Hinata saat dirinya dan Naruto saling mengucap cinta di puncak tertinggi Ferris Wheel berlatar Senja. Sungguh kenangan romantis yang sangat berharga bagi Hinata sampai Ia tidak menyadari waktu berlalu sudah dua bulan lamanya sejak Naruto kembali ke Amerika.
Helaan nafas kembali terdengar seiring netra senada lavender itu bersembunyi dibalik kelopak mata berbulu lentik.
Pikirannya berkelana mengingat awal mula permasalahannya dengan Naruto terjadi, awal mula dari puncak kemarahan pria itu.Ya ini semua salah Hinata.
Salah Hinata, yang tidak memberitahu pria itu. Salah dirinya yang terlalu sibuk dengan segala schedulenya sampai melupakan—
Ia memiliki adegan ranjang di dalam dramanya.'Bodoh!' Tangan kurusnya meremat rambut indigonya frustasi. Denyut disebelah sisi kepalanya kembali terasa. Gawat! Migrain sialan itu kembali datang menyapa, setiap kali dirinya memikirkan permasalahan ini.
Drama yang Ia lakoni bersama Gaara memang sudah tayang sejak dua bulan ini. Sungguh respon dari penonton yang mereka terima sangat luar biasa. Rating drama mereka selalu merajai slot tayang disetiap minggu penayangan.
Belum lagi review penonton yang kebanyakan terbawa perasaan sehingga mereka mulai ramai-ramai mendirikan fanclub kapal Gaahina— Gaara Hinata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Relation
FanfictionMereka menyembunyikan status hubungan demi kepentingan bersama, layaknya sinetron dimana orang tua mereka sepakat untuk menikahkan mereka yang notabene masih sangat muda. Dengan alasan konyol, sebagai permintaan terakhir Nenek Naruto. Tapi jangan be...