20 - Quality Time

9.7K 446 98
                                    

Kala hati merasa gundah, apa yang bisa dilakukan tubuh untuk memperbaikinya.

Hati dan fikiran, merupakan elemen yang selalu bertolak belakang untuk bersinkronisasi satu sama lain.

Dan Hinata benci mengakui hal tersebut benar adanya.

Fikirannya, terus berkelana memunculkan persepsi-persepsi baru akan sebuah kemungkinan yang membuat hatinya sakit.
Namun, disisi lain Ia ingin menolak. Ia ingin mencegah, halusinasi-halusinasi atau justru imajinasi aneh yang terus menyapa itu, dengan hal positif yang terus Ia lontarkan dalam hati.

'Mereka hanya berteman.'

'Percayalah Hinata.'

Saat sang petak kecil ventilasi di atas jendela, mengizinkan angin dingin khas malam memasuki ruang sepetak namun luas. Yang mampu menyapa lembut permukaan kulit seputih salju sang wanita indigo.
Sanggup membuat ekstensitasnya menyadarkan Hinata akan waktu yang kian larut.

"Jam sebelas malam. Kenapa dia belum pulang juga." Manik senada lavender pucat miliknya, menyendu.

Perasaan bimbang seakan terus menghantui dirinya. Ia cemas, tentu saja. Namun, Ia juga tak mampu mengabaikan perasaan marah atau kecewa yang terbersit di hatinya.

Tangan seputih susu tergerak meraba, mengambil ponsel yang sedari tadi tergeletak tak berbunyi.

'Kenapa Naruto-kun tidak memberi kabar?'

Rasa kalut yang Hinata rasakan seakan membuncah tak terbendung. Entah mengapa, tiba-tiba Hinata merasa perasaannya tak enak.

Memperhatikan layar ponselnya sekali lagi, berharap sang pria di ujung sana segera memberi kabar kepadanya.

Oh, Kami-sama. Hinata merasa kesal ; pada pria sebrang, tentu saja! Dan pada dirinya sendiri. Hinata seakan menjadi wanita bodoh, dengan berharap Naruto menghubunginya.

Alasan sederhana namun menjengkelkan, dan bisa menjadi faktor utama kebodohannya. Hinata lupa bahwa pulsa di dalam ponselnya telah habis, karena itulah Ia tidak dapat menghubungi pria itu.

Terlebih lagi Ia baru saja tiba di rumah, sekitar setengah jam yang lalu. Mengingat waktu sudah hampir tengah malam, tidak memungkinkan lagi dirinya keluar dari Apartement hanya untuk mengisi pulsa.

Konyol!

"Hinata?" Bagaikan air di tengah padang gurun, suara bariton itu sanggup melegahkan perasaan khawatir yang tengah perempuan itu rasakan.

"Naruto-kun.." Secepat kilat Hinata bangkit dari tempat tidur, menghampiri Naruto yang berdiri di depan pintu kamar.

"Kufikir Hinata belum pulang, maaf tidak mengucapkan salam tadi." Senyum tipis terlukis pelan penuh kelembutan, "Tadaima.."

Raut wajah bahagia sangat jelas terpatri di wajah cantik Hinata. Dia tersenyum lembut sambil mengangguk singkat,
"Okaeri, Naru—" Spontan terlukis wajah datar, alis menekuk, dan bibir mengatup rapat seakan bertolak belakang dengan raut wajah Hinata sebelumnya.

"Hina—"

"Kau dari mana?"

"Pergi dengan temanku, bukankah sudah kukatakan tadi pagi?"

Satu alis Hinata tergerak naik penuh curiga. Tangannya terlipat di dada, matanya memicing penuh introgasi.

"Teman, benarkah?"

Naruto tak bergeming, justru memandang Hinata dengan tatapan heran. Satu tangannya terangkat menggaruk pipinya yang tak gatal.

"Kau Hinata kan?"

Our RelationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang