Ten

397 41 8
                                    

Meskipun Rose cukup kesal, tapi dia akui mobil Calvin terasa menyenangkan. Well, uang tidak pernah menipu. Rose duduk di belakang sedang di depannya duduk si dua sejoli. Calvin merengek dari tadi, dan rasanya Rose ingin menyumpal mulutnya dengan kaki.

"Aw baby, tidak... Pelan-pelan... God! Ini perih babe!" Jerit Calvin ketika Jane mencoba mengobati bibir Calvin yang sobek.

"Demi Tuhan kau sangat berisik Roger! Jangan cengeng, kau kan biasa berkelahi!" Ucap Rose sengit. Calvin memutar bola matanya.

"Terakhir kali aku berkelahi dua bulan yang lalu di atas ranjang. Aku tidak pernah sebonyok ini!" Ucap Calvin dengan lantang. Jane yang jengah tambah menekan kapas antiseptiknya lebih kuat sehingga Calvin menjerit lebih kuat.

"Ck! Aku harus bangga atau bagaimana?" Ujar Rose kesal lalu membuang pandangannya ke jendela.
"Baby, kau benar-benar pendiam. Ingin kucium?" Ujar Calvin dengan nelangsa. Rose hanya mendengarkan.

"Menyetir saja yang benar." Jawab Jane ketus.

"Hm, sifat jahatmu belum berubah yaa.. Sinis seperti biasa." Gerutu Calvin yang dihadiahi keplakan dari Jane.

"Nih obati sendiri." Ujar Jane kesal.

"Aku sedang menyetir. Kalau kau ingin mengajak mati bersama, jangan ajak nenek lampir itu juga! Dia pasti merepotkan di akhirat nanti." Cerocos Calvin yang disambut pelototan tajam Rose.

"Kau tambah cerewet." Ucap Jane sambil kembali mengobati Calvin.

"Kau tambah pendiam. It hurts me, babe." Balas Calvin. Rose hanya diam di belakang. Tapi ya, Jane tambah pendiam. Mungkin Jane tidak secerewet dirinya, tapi Jane selalu sinis, sekarang benar-benar dingin.

"Ini kenapa?" Tanya Jane dengan suara lirih, hampir-hampir Calvin tidak bisa mendengarnya. Suara Jane yang halus seperti itu, rasanya Calvin ingin merengkuh gadis itu dan menciumnya lama.

"Aku bertarung dengan mamot." Jawab Calvin dengan cengiran di wajahnya.

"Kau menang melawan mamot ini kan?" Tanya Rose. Mengerti siapa mamot yang dimaksud Calvin.

"Tentu saja!" Jawabnya penuh bangga.

"Kenapa tidak kau bunuh sekalian." Ucap Rose sinis.

"Ouch, tidak akan. Dia mamot kesayanganku, seliar apapun dia." Jawab Calvin dengan cengiran bodoh.

"Siapa?" Tanya Jane tak paham.

"Bukan siapa-siapa, babe. Hanya masalah laki-laki biasa. There's nothing to worry about. Obati saja aku, please." Terang Calvin sambil tersenyum memelas. Jane menurut dan Rose hanya memutar matanya malas.

***

Ben menggeram. Ingatannya berputar seperti kaset rusak. Sialan! Ben ingin Jane menderita, sama seperti ia yang menderita saat ini.

Ingatannya kembali pada lima belas tahun yang lalu, ketika orangtua-nya membawa seorang gadis mungil yang diperkenalkan menjadi adiknya. Adik barunya, Jane.

Ben tidak membutuhkan waktu lama untuk menyayangi adik barunya. Gadis cantik, ceria, dan luar biasa menyenangkan. Ben mengagumi segala hal tentang Jane. Ben bahkan selalu meluangkan waktu sebanyak yang ia mampu untuk Jane.

Jane tumbuh menjadi gadis yang selalu ia banggakan. Tapi sesuatu yang cantik selalu berbahaya. Jane mematikan, Ben tidak menyadarinya hingga tujuh tahun berikutnya, ketika Jane berumur sepuluh tahun.

Saat itu Ben pulang telat. Dia pergi nongkrong dengan temannya hingga larut. Tidak ada firasat buruk apapun, hingga dia masuk ke dalam rumahnya. Rumahnya gelap, dan hanya terdengar isakan kencang mamanya dan Jane. Ben hampir kalap dan menyalakan semua lampu. Kenyataan yang didapat membuatnya ingin mati saat itu juga. Jane membunuh ayahnya! Adiknya membunuh ayahnya!

Jane memegang gunting yang tertancap di leher ayahnya. Ben masih mengingat jelas tubuh ayahnya yang terbujur kaku. Ayahnya adalah orang baik, tapi bahkan tidak bisa mati dengan cara baik. Jane menangis sambil memanggil manggil namanya. Ben bergidik ngilu dan jijik pada saat yang sama. Detik itu adalah detik ia membenci adiknya.

Hal berlangsung secara cepat. Ambulance datang, polisi menggiring mereka dan mengintrogasi. Ben tidak bisa bersuara apa-apa kecuali terus menyalahkan Jane atas ini semua. Lebih parah, mamanya seperti kehilangan jiwanya, dia menangis dalam diam dan tidak bisa dimintai keterangan apa-apa.

Tapi Ben masih ingat dengan jelas ketika Jane manangis dan mengatakan pada semua orang bahwa dia membunuh ayahnya.

"Dad... Aku menusuk Dad.. Di sini, Dad sakit... Dad tidak mau bangun... Aku menyakiti Dad..." Jane terus berkata seperti itu di sela-sela tangisannya. Ben hampir kehilangan kewarasannya saat itu. Adiknya. Adalah adik kebanggaannya yang menghancurkan keluarganya!

"Kau melamun?" Ben tersentak mendengar teguran itu. Andrew menaikkan kedua alisnya bertanya ada apa. Ben hanya bergumam sebagai jawaban.

"Kau tidak bisa mengetuk pintu?" Ucap Ben sinis. Andrew mendengus bosan.

"Asistenmu mengetuk ratusan kali. Kau tidak bisa mendengar?" Balas Andrew dengan enteng.

"Ada apa?" Tanya Ben tanpa basa-basi. Tidak seperti biasanya Andrew datang ke kantornya jika tidak ada yang penting.

"Menjengukmu. Aku bawakan obat juga." Jawab Andrew dengan senyum tak berdosa. Ben memutar matanya malas.

"I'm good. Pergi sana." Usirnya terang-terangan.

"Aku khawatir. Coba lihat, siapa lagi yang akan merawatmu kalau bukan aku. Marry me?" Goda Andrew pada Ben sambil terkekeh lucu. Ben hanya mendengus kesal kembali mengusir Andrew.

"Aku taruh di sini obatnya." Ucap Andrew sambil meletakkan bungkusan berisi obat di atas meja ruangan Ben.

"Ben, aku tahu kau waras, tapi ambisimu menakutkan. Dan kalau kau ada waktu ikutlah semacan terapi, atau mulailah mencoba memaafkan." Ucap Andrew pelan. "See you, dude." Lanjutnya kemudian keluar dari ruangan Ben sebelum terkena semprotan emosi darinya.

Bukan sekali ini Andrew mengingatkan temannya. Dulu dia pernah mengingatkan hal yang sama. Tapi Ben tidak peduli, masih keras kepala. Andrew menyerah dan berjanji apapun yang terjadi nanti, dia tidak akan meninggalkan Ben. Mereka berteman dari lama. Tapi keadaan sekarang berbeda. Calvin terlibat di dalamnya. Calvin selalu menghormati Ben. Bagi Andrew dan Ben, Calvin seperti adik laki-lakinya. Dia banyak bicara dan nyaris tak bisa diam. Pertemanan mereka bertiga aneh tapi kuat.

Andrew menyaksikannya. Calvin pernah marah, tapi tak pernah kalap hingga memukuli Ben. Makanya Andrew membiarkannya. Mereka dewasa, dan kadang laki-laki dewasa perlu dipukul agar tersadar dari salahnya. Calvin yang kalap menyadarkan Andrew, bahwa masalah ini cukup pelik. Calvin selalu menghormati Ben, tapi sekarang menantang Ben habis-habisan. Masalah ini menjadikan pertemanan mereka sebagai jaminannya.

Calvin terlihat serius dengan adik Ben. Andrew tahu karena dia tidak pernah menyaksikan Calvin begitu peduli pada seseorang. Dia berada di tengah kubu yang berlawanan. Andrew mendesah pasrah.

Ben menggeram marah. Memaafkan?! Bagaimana bisa dia memaafkan ketika dia tidak bisa melupakan setiap kejadiannya. Sedang Jane? Gadis itu malah dengan mudah melupakan semuanya. Sialan!

TBC

Bab ini kayanya yang paling pendek. Selamat menikmati aja deh yaaa :) Dan selamaat menunaikan ibadah puasaaa!!! Semoga lancar ya puasanyaaa!! Jangan batal di tengah jalan yaa, bahayaaa, di pinggir jalan ajaa hahaha #apasih
Mohon maaf kalo ada salah-salahnyaa :D
Jangan lupa vote dan comment. Please tulis saran kalian atau apapun itu di kolom comment yaaa, biar tambah semangat hehehe.. Thanks babe.
.
.
Love

KEEP YOU SAFETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang