Extra Chapter

619 45 10
                                    

Hujan turun deras di luar sana. Angin masuk melalui ventilasi yang sengaja aku buka. Langit terlihat sangat gelap, bintang-bintang bersembunyi dibalik awan yang gelap. Kerlap kerlip Kota Singapura terlihat jelas dari atas sini. Pemandangan ini membuat hatiku sedikit lebih tenang dari penatnya aktivitas kuliah.

Semua baju sudah kumasukan ke dalam koper, tinggal menunggu hari esok untuk kepulanganku ke Indonesia. Jika bukan karena undangan pernikahan dari sahabatku, mungkin aku tidak akan pulang, karena tugas akhir pekan ini sangat banyak.

Bulir-bulir air hujan menerpa wajahku, membasahi rambutku yang sudah sangat gondrong, bahkan bisa dikuncir. Sebenarnya bukan karena aku malas untuk pergi ke salon, tapi karena tukang cukur di sini kurang ramah. Lebih baik aku potong rambut di Jakarta saja besok, sekalian ingin menemui Pak Tono, tukang cukur langgananku yang sekaligus sudah aku anggap ayah kedua bagiku.

Ponsel berdering nyaring seantero apartemenku. Aku mengambilnya di atas sofa dan kembali berdiri di dekat ventilasi. Aku melihat layar, nomor Indonesia, lalu dengan segera aku menekan tombol berwarna hijau.

"Assalamualaikum," sapa orang di seberang sana.

"Wa'alaikumsalam," balasku.

"Besok kamu sampe di Jakarta jam berapa? Hubungi Mama kalo kamu sudah tiba di bandara."

"Kira-kira siang. Oke, Ma."

Telepon terputus setelah aku menjawab salam dari Mama. Sudah pukul sebelas malam, aku harus segera istirahat supaya tidak bangun telat.

Aku menutup ventilasi itu supaya hujan tidak membasahi lantai, aku membersihkan embun yang mengotori kaca, sebuah bayangan muncul dari sana. Bayangan seorang perempuan dengan senyuman mengerikan, mulutnya hampir sobek. Dan yang lebih parahnya lagi, kepala gadis itu sedikit penyok, seperti terbentur sesuatu yang sangat keras. Aku terlonjak, namun aku menyadari sesuatu, mata itu. Mata indah itu. Aku kenal mata indah dan teduh itu. Mata milik sahabatnya dulu. Zella.

Aku menoleh ke belakang, kosong. Tidak ada siapa-siapa di sana. Mungkin aku hanya berhalusinasi. Tapi, mengapa Zella tersenyum dengan banyak darah di mulutnya? Dan juga, mengapa kepalanya sedikit penyok? Hanya matanya saja yang mirip. Apakah ini sebuah halusinasi? Apa ini semua karena aku merindukan Zella?

Sesuatu terjatuh dari tempatnya berada. Membuat bunyi nyaring. Aku pun lari terpontang-panting ke atas kasur dan segera menutup mata.

●~●~●~●


"Rambut kamu kenapa nggak dipangkas sih, Vin? Udah gondrong banget itu lho," mama menegurku.

"Iya, Ma. Nanti aku ke tempat pangkas rambut."

"Kenapa nggak di sana aja?" Di sana yang dimaksud mama adalah di Singapura.

"Nggak enak, Ma. Pelayannya galak-galak."

Mama tersenyum. "Gimana kuliah kamu?"

"Alhamdulillah."

Mobil melaju kencang seiring bulir-bulir air yang terus berjatuhan menimpa atap mobil. Kota ini, kota yang penuh dengan kenangan, masa-masa kelam maupun senang, semuanya ada di sini, bercampur menjadi satu. Aku merindukan kota ini, tanah kelahiranku.

Padatnya Kota Jakarta dengan lalu lintas yang terkadang berantakan, membuatku merindukan ini, di Singapura tidak ada yang seperti ini, biar pun padat, tetapi lalu lintasnya berjalan dengan lancar.

Mobil sampai di pekarangan rumah. Disambut dengan bibi yang langsung membawa koperku dan membenahinya di kamar.

"Den Kevin rambutnya sudah gondrong aja," celetuk bibi yang hanya aku balas dengan senyuman.

AlmondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang