Seventh: Late To Say

8 6 3
                                    

Gadis itu duduk merenung dikursi panjang taman belakang rumahnya. Sudah begitu lama ia tak kemari dan bermain bersama Jill dan Hurs, dua kelinci kesayangan maminya.

Jika dahulu ia dan maminya bermain, memberi makan, dan menggendong mereka.

Tadi ia habis dari makam. Pemakaman papinya yang sekomplek dengan makam maminya. Selesai dari makam papinya, ia menuju makam maminya. Ia mencurahkan segalanya disana. Ia tak sendiri, ada seseorang yang selalu setia disampingnya. Ia merasa sangat beruntung memiliki lelaki itu dalam hidupnya.

Ia menatap lurus kekandang kelinci itu yang sengaja ia buka. Keduanya bermain dan melompat. Ia tersenyum getir mengingat masa lampaunya. Indah, sungguh indah.

"Hoi!"

Afi yang tadinya diam dikejutkan oleh suara dua sahabatnya itu. Mereka duduk disisi kanan dan kiri Afi.

"Udah jangan nangis, ini takdir dan ujian dari Allah. Lo harus ikhlas, Fi."

"Betul, Tuhan gak bakal ngasih ujian jika hambanya gak mampu. Mungkin ini yang terbaik untuk semuanya. Lo, keluarga lo, terlebih Om Fajar."

Keduanya memeluk tubuh Afi dan memberikan ia kekuatan moril padanya.

"Thank guys." ucapnya. Jeneviv dan Bianca mengangguk.

"Kakak dipanggil mami dikamarnya!" teriak Langit entah darimana.

"Wait guys, i'll be back!" Afi berdiri dan meninggalkan keduanya. Ia berjalan kearah kamar papinya. Pintu kamar itu terbuka lebar yang membuatnya langsung masuk.

Ia terheran melihat seseorang yang tak ia kenali juga disana bersama dengan Qia dan Audi. "Kenapa?"

"Ada beberapa hal yang harus diberitahukan. Ini, hanya Khafi yang belum liat." Orang tak dikenali itu menyodorkan sebuah map.

Afi membuka dan membacanya. Isinya adalah pembagian harta warisan Fajar. Audi dan Hammas mendapat rumah dan dua mobil, Afi diberikan empat buah ruko dan dua bidang tanah, dan Qia meneruskan yayasan yang ia dirikan. Sedangkan Langit diwariskan seluruh perusahaan milik Fajar.

"Ada lagi, ini.." kata Audi menyodorkan selembar kertas dengan ragu.

Mata Afi melebar. "Tante Audi hamil?"

Dengan ragu Audi mengangguk. Afi

"Selamat, semoga semuanya lancar sampai persalinan."

"Tante kira kamu bakalan marah, Fi."

"Why? Ini kan berita baik. Kita bakal siapin semuanya bareng-bareng, okey?"

"Saya lupa sampaikan pesan terakhir papi kamu. Dia mau lulus nanti, kamu dan Hammas akan langsung California, lanjutin kuliah kalian disana."

"California?"

"Iya. Kalian tenang aja, apartemen dan semuanya sudah dipersiapkan Pak Fajar. Kalian tinggal datang dan kuliah dengan benar."

"Makasih ya, pak."
(+)(-)(+)

"Adek ipar, gue bantu yak?" Rafqi membantu Qia mengumpulkan sampah-sampah yang tertinggal.

"Makasih ya, kak."

"Santai. Sebagai abang ipar yang baik, harus bantu adik ipar yang lagi kesusahan." ucapnya.

Adik ipar?

"Kalo lo gak sama Kak Afi..gue masih lo anggep adik gak, kak?"

"Maksud lo?" Otak Rafqi yang rata-rata, tidak bisa mencerna ucapan Qia tadi dengan cepat dan tepat.

"Ya, kalo nih, kakak gue bukan pacar lo, apakah gue tetep lo anggep adik?"

Rafqi tertawa. "Kok ketawa sih? Emang lucu apa?"

"Ya luculah. Satu, realitanya gue pacar kakak lo. Dua, kalo gue gak sama kakak lo mending gue jomblo."

Segiu pentingnya lo dimata Kak Rafqi, kak. Jujur, dia begitu iri dengan kakaknya yang selalu lebih unggul darinya dibidang apapun.

"Gitu ya." lirihnya. "Gue boleh nanya lagi kan?"

"Boleh-boleh, selagi gue gak patok harga nih."

"Lo lucu, kak." Dan gue suka itu

"Makasih. Emang bener kata Ayu gue itu udah cakep lucu lagi. Dia pernah nyuruh gue masuk stand up comedy yang ditv-tv gitu lho.." Rafqi sedikit curcol.

Selalu tentang lo, kak, geramnya.

"Eh, btw gue gak jadi-jadi nanyanya nih."

"Oh iye ye, monggoh, silahkan."

"Misalnya ini yah, misalnya." Rafqi mengangguk.  "Inget ini misalnya!"

"Kalo ada cewek suka sama lo, apa yang lo lakuin?" tanya Qia bersamaan dengan Afi melewati tempat mereka. Awalnya ia mau mencari Rafqi untuk mengucapkan terimakasih.

"Hm...gue tembak, jadiin pacar."

"Kalo itu gue?"

Deg, apa maksud lo Qi! Hatinya memutuskan untuk kembali kekamarnya.

"Yaelah, adek ipar! Abang ipar gak bakalan selingkuh dah! Setianya sama kakak lo aja!" ucapnya sedikit serius.

Udah gue duga, lo terlalu cinta sama Kak Afi. Ia tersenyum kecut. "Ya kan kalo, misalnya! Ah elo, kak!"

Dan sebenarnya itu bukan kalau lagi, ini nyata. Perasaan gue nyata, kak. Gue suka lo. Tapi lo sama dia, kakak gue sendiri.
(+)(-)(+)

"Ham, lo kok gak bilang dapet beasiswa ke Stanford?"

Cittt

Pertanyaan mendadak dari Afi membuat mobil itu terhenti. Hammas menatap sebelah kirinya dengan heran.

Mereka sedang dijalan menuju sekolah. Qia yang sudah libur karena telah usai UN hanya nangkring dikasur seharian.

Kening Hammas berkerut. Ia mulai menjalankan mobil kembali dan menatap kearah jalanan. "Kok lo tau?"

"Ya taulah, pengacara papi ngomong ke gue. Dia bilang lo dan gue bakal kesana habis UN, langsung."

"Seriusan?" tanyanya memastikan. Afi mengangguk beberapa kali.

"Lo ambil jurusan apa?"

"Apalagi kalo bukan musik." jawab Afi membuat Hammas ber-oh.

"Gue dapet beasiswa manajemen bisnis di Stanford dan Harvard. Tapi kakak nyuruh gue ambil di Stanford, ternyata ini alesannya."

Afi berdecak kagum. Ia ingin dibanjiri tawaran beasiswa kayak gitu. "Hebat lu ye, dapet beasiswa! Gue bangga punya om kek lo!"

Om? Gimana kalo om lo ini mau lebih? Senyum kecut nyembul dibibirnya.Ada rasa aneh yang ia temukan saat bersama Afi seperti sekarang.

Ingin menggapai, tapi bukan siapa-siapa

Ingin lebih, tapi takkan mungkin

Ingin memiliki, namun telat. Ia sudah dimiliki.

Menyedihkan.

Yaudahlah ya, terima apa adanya aja-,-

VivereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang