Bagian Satu

1.4K 87 58
                                    

Aku menutup kembali buku harianku, setelah menuangkan beberapa keresahan hati melalui goresan-goresan pena mengandung asa.

Hal yang seperti biasa kulakukan setiap harinya sebelum tidur, apabila aku melewatkannya bisa-bisa tidurku jadi tak nyenyak dan hal ini sudah ku analisa sebelumnya. Jadi bukan hanya firasat semata.

Menggosok gigi sudah.
Cuci muka dan berwudhu juga sudah.
Menulis di buku harianku juga sudah.

Dan sekarang waktunya tidur dan kembali menyambut pagi esok hari.

Namaku Saluna, aku hanyalah gadis berumur 16 tahun yang sedang jatuh cinta. Apa ada yang salah? Tidak kan? Aku kembali teringat saat aku tersadar bahwa aku jatuh cinta padanya, dan sungguh itu bukanlah hal yang menyenangkan.

Pagi kini menyambutku, dengan perasaan malas ku paksakan tubuh ini terbangun dari tempatnya. Aku berwudhu dan melaksanakan sholat subuh seperti biasa, tak lupa juga menyempatkan berdoa untuk kedua orang-tuaku serta keluarga yang lain dan juga untuk dia yang telah merampas hatiku.

Berdoa agar ia segera mengembalikannya tanpa tergores sedikit pun.

Sebelum sekolah aku menyempatkan diri untuk membantu Ummi memasak, karena aku putri tertua jadi Abah memintaku untuk membantu pekerjaan rumah setiap harinya. Aku pun juga tak keberatan, karena aku tahu bahwa semua ini adalah demi kebaikanku suatu saat nanti.

Cah Kangkung, dan sepotong ayam goreng menemaniku sarapan pagi ini. Semua ini adalah makanan kesukaan Kayana, aku dan Ummi sengaja membuatnya untuk menyemangatinya yang akan melaksanakan UN hari ini.

Aku dan Kay berbeda dua tahun, dan kami punya tiga kakak laki-laki.

Abang Nur yang tertua, umurnya sudah 28 tahun dan tinggal terpisah karena sudah menikah. Yang kedua ada Abang Fadil, dia berumur 26 tahun masih melajang sekarang bekerja sebagai pegawai kantoran biasa dan yang terakhir ada Abang Zul yang juga sudah bekerja hanya saja ia merantau ke tanah Papua jadi kami hanya bisa sesekali menghubunginya saat dia lenggang, Abang Zul juga baru berumur 24 tahun jadi Abah sama Ummi tidak keberatan ia bekerja jauh sekali dari rumah.

Kata Abah, sejauh apapun jarak yang memisahkan kita selalu ada doa sebagai pengganti rasa rindu kala ingin memeluk putra-putrinya.

Meski umur Abah sudah hampir 60 tahun, Abah masih saja sibuk bekerja. Kata Abah, badannya suka sakit-sakit kalau tidak bekerja sedangkan Ummi sejak dulu sudah mengabdikan hidupnya untuk membantu Abah mengurus keperluan rumah tangga.

Selesai makan aku harus langsung pergi ke sekolah jika tidak ingin terlambat, seharusnya aku masih punya tugas mencuci piring tapi Ummi bilang aku harus segera pergi ke sekolah jadi ku turuti saja daripada aku terlambat dan dimarahi Pak Warsito, guru BP ku.

Aku mengayuh sepeda hasil pemberian Abang Nur saat kelulusanku 2 tahun lalu melewati kebun milik tetanggaku dan beberapa pasar untuk sampai ke sekolah. Abang bilang "ini sepeda untuk Salu, kasian kalau Salu harus jalan kaki ke sekolah." Dan aku sangat berterimakasih karena hal itu, bagaimana pun letak sekolah ku memang sangat jauh.

Sesampainya disekolah kulihat sudah ramai dipenuhi siswa dan siswi yang entah sedang apa. Aku tak peduli dan memilih berjalan menuju ruang kelas yang telah ku tempati hampir satu tahun ini.

Kini aku berada ditingkat dua SMA, kebetulan aku juga jurusan IPA sesuai dengan keinginanku selama ini.

Aku duduk dikursiku yang masih kosong, suasana kelas juga sudah ramai dan aku memilih membuka lagi buku harianku dan kembali menuliskan serentetan kejadian yang ku alami pagi ini.

Najam bilang kebiasaanku ini sangat kekanakan, tapi biarlah karena aku sangat menikmati waktuku saat berbagi dengan Zalwa. Zalwa itu nama buku harianku, kenapa aku menamakannya Zalwa karena ia adalah sebagian dari diriku.

[AS1] Mentari Di antara Bulan dan Bintang - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang