Air mata tak kunjung henti menari. Aku terisak. Tergagu. Tercerai. Jiwaku terhempas. Untung saja belum lepas meninggalkan raga.
Tubuhku terasa ringan tak bertenaga. Sesuap nasi rasanya bagai segenggam pasir. Aku tak berdaya. Tak mampu harapkan apa-apa.
Bagaimana aku mampu berharap, saat nyawa dipertaruhkan. Aku ingin lari, tapi tentu aku tak miliki arah. Semua angan seakan terbang melayang tinggalkan hampa.
Riuh. Bising. Gaduh. Tak lagi ada yang menarik perhatianku. Segala suara seakan teredam oleh peningnya otakku. Hening. Sunyi. Senyap. Aku mati rasa.
Air mata belum jua mengering. Aku merasa sendiri di tengah hiruk pikuk yang menemani. Aku tak kesepian. Seharusnya. Nyatanya, aku bahkan tak peduli lagi apa itu sepi.
Kaki ringan melangkah. Bukan karena keikhlasan. Tentu karena diriku terlanjur hampa. Tak kuasa harapkan apa-apa. Ruangan kosong dengan ranjang berjajar sudah menungguku. Sesosok wanita menyambutku dengan senyum di wajahnya. Kelembutan dan keanggunannya, tak cukup menentramkan batinku.
"Tenang saja, enggak sakit, kok," ucapnya halus seakan berusaha menenangkan kekacauan di pikiranku.
Aku hanya diam. Tak ingin ambil suara.
Wanita berbaju biru itu menggenggam tanganku erat. Bukan menguatkanku. Tentu bukan. Dia hanya melakukan tugasnya. Dia hanya menjagaku agar tak mendepaknya.
Lenganku seketika keram. Sebuah benjolan merah kecil mencuat di lengan kananku. Teman wanita itu datang. Wanita dengan baju yang sama, namun tubuh yang berbeda.
Wanita tinggi dengan tubuh seperti raksasa itu tersenyum lebar menatapku. Membuatku bergidik. Rambut pendek sebahunya semakin membuat wajahnya terlihat begitu bulat. Seperti bola saja.
Tak kuhiraukan ucapannya. Mereka berbincang. Mereka berdua. Pikiranku terlalu kusut untuk mampu mengacuhkan percakapan mereka.
Kupasrahkan diri dalam jamahan mereka. Bajuku dilucuti. Tubuhku telentang tanpa busana. Tangan kiriku dialiri cairan bening tak berwarna. Kemaluanku disusupi selang panjang yang mengalirkan darah.
Kupejamkan mata. Mencoba ikhlaskan segala. Mencoba menahan air mata.
Malu aku kalau lagi-lagi harus terisak. Malu aku kalau lagi-lagi harus mengelak.
Kutahan perih di tubuhku. Kuabaikan malu dalam diriku.
Selembar kain berlengan dipasangkan menutupi tubuhku yang tergeletak seakan tak berdaya. Udara dingin mulai menjalari tubuhku. Embusan hawa yang membekukan menggelitik lubang hidungku. Jantungku berdegup tak beraturan.
Cahaya-cahaya putih terlihat samar oleh mataku. Kutinggalkan mereka yang menatapku seraya berdoa. Gumaman mereka tak mampu kudengar. Aku hanya tahu, mereka berbisik menyebut namaku dalam doa sore ini.
Aku sampai. Cahaya yang berpendar mulai jelas kulihat. Cahaya putih semakin terang. Aku berada di ruang penuh cahaya. Putih. Terang. Dingin.
Rasa sakit menggerayangi punggungku yang dipaksa terduduk. Aku jatuh lemas. Kembali terbaring. Semakin tak berdaya. Aku benar-benar mati rasa. Tak lagi kurasakan sentuhan kulitku sendiri. Aku kaku. Tak mampu bergerak walau sejengkal.
Semakin dingin. Napasku memburu, sebelum akhirnya melemah. Air mata bahkan membeku sebelum mampu mengalir.
"Berapa lama?" tanyaku disela kebisuan.
"Enggak lama. Enggak sampai satu jam." Lelaki berbaju serba putih itu tersenyum lalu berlalu.
"Tenang saja. Berdoa, ya." Terdengar suara seorang wanita yang beberapa jam lalu membawa kabar menohok ini.
Mataku perlahan terpejam. Kupasrahkan diri. Kuikhlaskan segala yang terjadi. Hanya nama Tuhanku yang tak henti kubisikkan dalam kegelisahan yang menyelimuti.
"Izinkan segalanya baik-baik saja, Tuhan. Sucikan aku sebelum Engkau memilih untuk membawaku," bisikku lirih mengharap pengampunan terakhir.
Desisan-desisan kudengar. Tak mampu alihkan pikiranku dari doa. Kecuali..., saat terdengar sebuah suara yang memekakkan telinga. Membungakan hati. Menenangkan jiwa.
Namun, suara itu menjauh. Hilang. Kini tak terdengar. Air mataku tumpah tak tertahan.
Selamat datang, Malaikat. Akhirnya perjumpaan yang kutunggu terkabulkan.
"Laki-laki, Bunda." Suara wanita pembawa kabar duka itu memaksaku membuka mata.
Kulirik ia, seorang pemuda cilik berada dalam peluknya. Wajah pemuda itu berseri. Pipinya merona. Bibirnya ranum. Hidungnya mungil. Sempurna. Seperti dalam mimpiku.
Inikah malaikat yang kunanti? Pertemuan yang lebih cepat dua bulan dari yang kucanangkan. Tak mengapa. Selama aku tahu, malaikatku kini baik-baik saja.
Segala doa terijabah. Segala gundah kini sirna. Aku seakan menjadi yang paling berbahagia. Duniaku tak lagi sama. Detik saat kudengar rengekan sang malaikat, saat itu pula, duniaku berputar di sekelilingnya.
Kini, bukan lagi tentangku. Tak akan ada lagi aku dalam kamusku. Hanya kamu, malaikat kecil pemilik segala doa, upaya, rindu, dan cinta yang berbunga dalam hatiku.
Selamat datang, Malaikatku. Inilah dunia yang kekejamannya kudongengkan.
Selamat datang, Malaikatku. Inilah aku, wanita tanpa apa-apa yang menyebutmu dalam setiap doa.
Selamat datang, Malaikatku. Hilangkan segala gundahmu. Bukan aku yang akan menjagamu. Aku hanya pengamin doamu agar segera didengar Tuhanmu.
Selamat datang, Malaikatku. Kuharap kamu tak menyesal menjadi bagian dari hidup meranaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Untuk Pujaan
Non-FictionKutuliskan rangkaian kata sebagai pengingat atas apa yang pernah ada, yang nyata terjadi, yang menjadi angan, yang kuharap kelak menjadi bukti bahwa cintaku bukan bualan belaka. Kutuliskan kisah yang mungkin kamu atau pun aku kelak tak ingat. Kutuli...