Kamu terlelap. Aku? Masih saja terjaga melakukan hal tidak penting yang tentu saja tidak harus kulakukan.
Aku yang tak tahu diri ini, memilih membuang waktuku menjelajahi dunia yang tak ada kamu di dalamnya. Padahal aku tahu, seharusnya aku bersamamu dalam tiap waktu yang kumiliki. Karena itu hakmu, bukan? Seluruh hidupku, ada hakmu di dalamnya.
Aku begitu egois. Berulang kali berikrar untuk menomorsatukanmu di atas segalanya. Berulang kali pula aku melanggar. Aku hanya perdusta. Pembual. Tak berpendirian. Aku harap kamu tak sepertiku. Aku bukan panutan yang baik untukmu. Diriku terlalu jauh untuk dikatakan sempurna. Diriku terlalu berlumur dosa untuk diikuti.
Kamu terus saja tertawa. Kamu tetap saja tersenyum. Bahkan ketika terkadang refleksku menyakiti tubuhmu --kuyakin juga hatimu--, kamu pada akhirnya tetap pamerkan deretan gigi putihmu setelah reda air matamu.
Kenapa? Kenapa tatapanmu selalu saja seolah mengatakan bahwa kamu begitu mencintaiku dengan sangat? Padahal kamu dan aku sama-sama tahu, betapa besar pun kukatakan aku mencintaimu, perilakuku justru menunjukkan sebaliknya.
Kenapa kamu selalu berlari memelukku, bahkan saat aku sekuat hati mengusirmu jauh?
Kenapa kamu ciumiku, bahkan saat aku dengan kasarnya menyingkirkan tubuhmu dari dekatku?
Kenapa kamu harus menunjukkan bahwa kamu sebegitunya mencintaiku? Padahal seharusnya akulah yang lebih mencintaimu. Padahal kupamerkan pada dunia betapa cintaku untukmu tiada dua. Nyatanya, aku kalah telak.
Kamu menyakiti harga diriku. Cinta yang kamu tunjukkan hanya membuatku malu akan diriku sendiri. Membuatku semakin mengutuk diri. Membuatku ingin mencintaimu lebih lagi.
Aku ingin jadi sepertimu.
Jangan minta aku untuk tunjukkanmu bagaimana caranya bertahan sejauh ini. Kamu yang harus mengajariku bagaimana caranya hidup dengan cara sepertimu.
Aku mencintaimu, dan kuharap cinta ini tak akan pernah mati.
Aku mencintaimu, dan kuharap kamu akan terus mencintaiku lebih lagi.
Rabu, 14 Juni 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Untuk Pujaan
Документальная прозаKutuliskan rangkaian kata sebagai pengingat atas apa yang pernah ada, yang nyata terjadi, yang menjadi angan, yang kuharap kelak menjadi bukti bahwa cintaku bukan bualan belaka. Kutuliskan kisah yang mungkin kamu atau pun aku kelak tak ingat. Kutuli...