Hai, kamu.
Ya, kamu. Malaikat di sisiku.
Sudah lama ingin kukatakan padamu, selamat datang di duniaku. Duniamu. Dunia kita. Dunia beribu aturan. Dunia berjuta rintangan. Dunia penuh batasan.
Bagaimana rasanya saat sepoi angin membelai kulit halusmu itu? Bagaimana rasanya terbebas dari kungkungan ruang gelap namun bercahaya tempatmu terpenjara selama tujuh bulan itu? Bagaimana rasanya mendengar jelas hiruk pikuk bisingnya dunia? Bagaimana rasanya melihat wajah dengan banyak rupa? Bagaimana rasanya dibuai secara nyata?
Sejak perjumpaan pertama kita, saat lengkingan teriakmu memecah keheningan sore itu. Saat lentiknya bulu matamu langsung memikat hatiku. Saat tatapan sendumu langsung sisipkan gemuruh di hatiku.
Aku menangis bersamamu. Aku tertawa karenamu. Sejak itu, aku berikrar, bahagiaku hanya untukmu.
Aku berdoa pada Tuhan agar Ia rela menghentikan waktu walau sekejap. Aku ingin mendekapmu lebih lama dalam pelukku. Selamanya jika perlu.
Aku tak ingin waktu bergulir, pada akhirnya memisahkan perjumpaan sesaat kita. Meski ku tahu, takdir telah menggariskan kelak kita harus terpisah.
Tujuh bulan perjuangan hidupmu di ruang sempit yang menyesakkan itu. Namun entah bagaimana, maafkan aku, aku bahagia kamu terkungkung di sana. Aku bahagia kamu mampu berjuang seorang diri di sana.
Kamu pada akhirnya berhasil membuktikan pada semua, kamu sang juara. Waktu membuktikan eksistensinya. Semakin waktu berlalu, kekuatanmu semakin tak terkira.
Kamu bertahan melawan waktu. Melawan kerasnya dunia, bahkan saat kamu belum mampu melihat dunia.
Kamu balas pukulan keras itu dengan tendangan tak menyakitkan, namun menohok pilu dengan sangat. Mematikan rasa. Menyesakkan dada. Memecahkan air mata.
Kamu jawab tangisan duka dengan tanda pembuktian keberadaanmu adalah nyata. Kamu bertahan dengan gagahnya, memaksaku untuk bertahan dengan lebih gilanya.
Mereka mencoba menyakitimu. Namun seakan mendengar bisikmu, aku mencoba bertahan untukmu. Aku mencoba kuat demimu. Aku berjuang untukku sendiri. Begitu pun kamu. Ah, tidak. Anggap saja aku terlalu berbangga diri, sungguh tak mawas diri. Aku selalu berpikir, kamu bertahan untukku. Berjuang demiku. Demi senyum yang pasti terukir di wajahku, saat kamu terbebas tentu.
Tujuh bulan penuh derita membahagiakan itu akhirnya berakhir. Kamu bebas. Kamu lepas. Tawamu meriahkan duniaku. Senyummu bungakan cinta di hatiku.
Sayang, perjuangan tak kunjung berakhir. Penderitaanmu masih harus berlanjut. Siksaan yang kamu terima, nyatanya masih menyisakan bekas. Kamu tak sekuat itu, pikirku.
Air mata habis tak bersisa seiring detik yang berlalu. Tawa hilang timbul bersama waktu yang berjalan. Namun senyum tak juga pudar dari wajahmu. Senyum di sela air matamu itu yang menguatkanku. Menahanku dari kegilaan.
Aku mengutuk lukamu. Namun kamu, dengan tawa menggema cerahkan kembali hari kelabuku. Mengukir senyum di wajah piluku. Menghapus jejak bekas embun di wajahku.
Bulan ketiga setelah kebebasanmu, kamu nyatanya harus terkungkung di ruang lain tanpaku. Kali ini benar-benar memisahkan kita. Tembok besar jadi penghalang untuk sekedar melepas rindu. Air mata kembali pecah tanpa sanggup lagi untuk terbendung.
Aku hancur berkeping. Aku merapuh, tanpamu menguatkanku. Aku mengiba, tak seorang pun berbelas kasih. Aku mengais puing rindu. Aku meratap memohon pertemuan.
Tuhan berbaik hati. Doaku terjawab. Rindu menyeruak melukis air mata. Kubawa kamu dalam dekap eratku. Seakan tak kuijinkan waktu mengambilmu kembali. Seakan tak kubiarkan waktu memisahkan ruang antara kita lagi.
Kamu bertahan lima hari dalam perjuangan baru. Kamu buktikan lagi pada dunia, kamulah sang juara. Malaikat maut seakan melambai pergi untuk sesaat.
Kini, enam bulan setelah perpisahan terakhir kita. Tak lagi kubiarkan ruang dan waktu merenggut kebersamaan antara kamu dan aku.
Kamu malaikatku, tanpamu, aku akan semakin penuh dosa. Tanpamu, aku akan kembali mengutuk Tuhan. Tanpamu, aku akan semakin bergelimang godaan.
Jangan sebut aku malaikatmu. Nyatanya tak begitu. Bukan kamu yang harus bersyukur akan hadirku. Namun aku yang berterima kasih atas keberadaanmu.
Aku harap masih banyak waktu tersisa antara kita. Aku harap kamu yang harus melepasku kelak. Tak lagi sanggup kulalui umur tanpa sosokmu. Tak lagi sanggup kutatap dunia tanpa sokonganmu. Tak lagi sanggup aku memuja Tuhan tanpa genggamanmu.
Tetaplah bersamaku. Tetaplah jadi malaikat di sisiku. Jika kelak kamu harus pergi, aku akan menyusul dengan segera. Tak kan kuijinkan siapa pun jadi penghalang. Bahkan walau Tuhan sekali pun.
Selasa, 11 Oktober 2016
◆◆◆
Event from rebellionID
KAMU SEDANG MEMBACA
Surat Untuk Pujaan
NonfiksiKutuliskan rangkaian kata sebagai pengingat atas apa yang pernah ada, yang nyata terjadi, yang menjadi angan, yang kuharap kelak menjadi bukti bahwa cintaku bukan bualan belaka. Kutuliskan kisah yang mungkin kamu atau pun aku kelak tak ingat. Kutuli...