Manuel mondar mandir. Didalam sebuah toko yang harum wewangian aneka ragam bunga, dan warna-warni keindahan bunga.
Sebuah toko yang berdiri sudah setahun lamanya, ditengah jalan Kembang Kerep. Sesuai nama jalan, sesuai profesi. Pria ini menyatakan, nama jalan ini pasti ada kembangnya, yaitu di tokonya.
Sesekali ia memandangi jam. Sedikit panik rasanya, detik sekian detik berjalan terus menerus. Dan terasa atau tidak, semenit juga berlalu. Terus terjadi...
Dihari tengah minggu, Kamis, dirinya disibukkan dengan pekerjaannya, meski seolah dia sendiri yang membuat sibuk, sebagai pemilik toko bunga, dan pemilik harus turun tangan langsung mengkontrol tokonya.
Kuliah pagi membuat dirinya puas mengembat berpuluh-puluh buket bunga untuk dijual dan pesanan kiriman. Mulai dari papan dukacita, selamat ulangtahun, atau pernikahan, ia embat juga.
Ia juga akan mengantarnya langsung ke pelanggannya, tanpa perlu Melvin dan Adit, dua anak buahnya yang setiap hari bekerja dan menjaga tokonya, meski sesekali mereka bergantian untuk mengantar.
Manuel menatap jam dinding di sisi pojok ruangan. Sebuah jam lantai yang klasik, bekas peninggalan almarhum kakeknya yang disengaja ditaruh di tokonya. Konon, jika ada jam tersebut di toko atau sebuah perusahaan, akan membawa hoki.
Manuel sedikit tidak menghiraukannya. Orang dahulu kan suka mempercayai tahayul...
"Astaga..."
Dentang jam itu berbunyi tiga kali. Nyaring, sampai hanya sepersekian detik Manuel memandang jam klasik itu.
"Sial. Banyak yang belum kelar, dan, harus mengantar lagi," gerutunya.
Manuel mempercepat gerak tangannya. Pikirannya sedang kacau balau dengan tekanan deadline pengiriman bunga.
Ia menatap sekelilingnya. Di bagian depan toko, ada Melvin, si ganteng yang menjaga toko. Umurnya masih seusia Manuel. Manuel mengenalnya sebagai tetangga dekat apartemennya. Ia merekrutnya, dan lagipula pria itu sedang membutuhkan pekerjaan sampingan.
Sisi lain. Adit. Anak buah Manuel yang beralih profesi sebagai biksu, setelah belum lama ini mencukur rumput di kepalanya bak lapangan skating. Sama halnya dengan Melvin, pemuda tampan penjaga tokonya, masih bertetangga dekat dengan Manuel.
Manuel memfokuskan tatapannya ke bunga-bunga yang berantakan. Tangannya terus mempercepat pekerjaannya, tanpa mengurangi keindahan dari karyanya itu.
Klentingan bel terdengar. Manuel sudah familiar dengan suaranya. Tak ayal, bel itu ada dibelakang pintu tokonya. Ia tahu, pasti ada pembeli. Selama hari ini, ia mendengarnya hingga berpuluh kali.
Manuel tidak menatapnya. Ia terus merangkai bunga. Jangan sampai ini membuat fokusnya hancur, dan melupakan sisi bagaimana merangkai bunganya tadi.
"Permisi, ada yang bisa dibantu kakak?" suara Melvin samar terdengar.
"Aku hanya ingin bertemu bosmu. Bolehkah aku bertemunya?"
Suara itu juga khas di telinga Manuel. Bukan Melvin lagi, atau klentingan bel. Buat apa harus menghapal suara pria tampan itu?
"Masuk saja lewat pintu disitu, agak kedalam, dan sepertinya ia sedang merangkai bunga. Bolehlah saya bertanya, ada maksud apa bertemu Manuel?"
"Aku ingin bertemu saja. Aku sahabat dekatnya."
"Oh oke. Silakan,"
"Terima kasih,"Gadis itu, melalui bayangannya yang terlihat dari pintu kaca, pemisah antara toko dan ruang kerja. Bayangan itu melangkah dengan percaya diri, dan lalu memegang engsel pintu. Dan mendorongnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Cinta Tapi Malu
RomanceMencintai sahabat SMA tetapi malu diungkapkannya sampai ia berkuliah. Pengalaman yang dialami pemuda kuliah bernama Manuel. Nama Adeline selalu terbayang saat ia duduk di jenjang bangku SMA. Tetapi dirinya yang malu, memaksanya memendam kata hatiny...