Page #9 - Hold My Hands

15 0 0
                                    

Laiknya sembako gratis, lahan parkir disini juga memiliki hal yang sama. Bukan gratisnya. Kala satu lahan parkir menjadi sengketa para pengunjung pusat perbelanjaan ini...

  Dua jam di jalan. Baru belajar mengendarai mobil mungkin kaki akan seperti setelah nge-Gym. Seorang ini tidak. Sudah biasa, meskipun mobilnya manual, bukan matic.

  Hawa basement panas langsung terasa, kala sosok ini membuka kaca jendelanya. Hanya untuk mengambil secarik kertas yang sungguh penting, tetapi akan terbuang sia-sia setelah keluar basement ini.

  Sebuah parkiran kosong, satu saja, cukup membuat hati yang panik kehabisan tempat parkir, menjadi lega. Keringat dingin yang awalnya ingin timbul di kulitnya, masuk lagi ke dalam porinya. Tak perlu berlama-lama lagi. Dibiarkan sedikit, 30 menit berkeliling. Keliling basement.

  Akhir pekan memang amat ramai. Macet selalu mengiringi, termasuk didalam basement sendiri. Mata-mata anak remaja hingga dewasa, tinggal di metropolitan ini selalu ingin meluangkan waktunya di mall. Entah lebih nyaman daripada harus duduk manis di taman.

  Kendaraannya ia matikan. Anak kunci mobilnya ia tarik. Masih ia pegangi, bersama ponselnya yang diletakkan di dashboardnya -posisi sama seperti ia kerumah Adeline-. Lalu ia menatap gadis itu. Gadis itu turut menatapnya, penuh keheranan.

  "Udah ayo turun Line. Kita mau ngapain disini emangnya?"

  Ia terkekeh. Ia lalu mengalungi tasnya. Gagang pintu ia buka. Tapi ia melupakan sesuatu, dan sesuatu itu hampir terjatuh ke dasar basement.

  "Oh ya, gue titip tas make up gue ya,"

  "Taro aja," ucap Manuel, sambil keluar dari mobilnya.

  Adeline meletakkan tas itu di jok mobil. Tidak akan mencurigakan bagi seseorang yang melihatnya. Ditambah lagi dengan kaca mobil Manuel yang gelap.

  Setelah keluar, Manuel mengunci mobilnya. Ia tidak mau pulang dari mall ini, cuma tinggal kuncinya saja yang ia pegang.

  "Ayo masuk Line." ajaknya melangkah searah ke pintu masuk.

  Gadis itu mengikuti perlahan dari belakangnya. Melangkah cukup cepat, sampai ke sampingnya.

  "Lo sering kesini Nic?" selingnya sesampai ia disamping Manuel.
  "Jarang. Kan jauh, macet. Sama toko bunga gue, deketan ke Lippo sana,"

  "Itu gue juga kesini seringnya nganter bunga orang nikahan doang." Manuel lalu mengantongi kunci mobil dan ponselnya. "Jadi gue kesini sekedar lewat aja,"

  Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Kenapa gak jalan-jalan aja sekalian Nic?"

  Manuel melemaskan pundaknya. "Gue kerja Line. Jadi gue pulang langsung lanjut ke pekerjaan lain. Untung juga sih hari ini lagi gak ada pesanan,"

  Ia mengangguk. "Kalo hari ini gue sendiri ke mall gak seru. Gak ada yang bisa gue ajak obrol."

  Manuel tertawa kecil. "Dikatain gak jelas sama satpam." lawaknya.

 
  Pintu kaca dihadapan. Dorong, lalu masuk. Merasakan sejuknya pusat perbelanjaan. Deruan musik terdengar keras, tapi merdu. Bau pakaian baru kadang mengundang. Suara air pancuran, tak tertinggal terdengar. Tentu, mall ini cukup khas dengan adanya air mancur didalamnya.

  "Oh ya, sekarang kemana?" Ia memberhentikan langkahnya.

  "Ya terserah lo Line. Kan lo yang ngajak gue," tatap Manuel sambil memasukkan tangannya ke kantong celana.

   Ia menatap Manuel balik. "Kan gue cuma mau nonton. Ya jangan polos-polos juga kali, masa ke mall nonton-makan-pulang?"

  Manuel menggigit bibirnya. Ia juga tidak mau hal terjadi. Ingin lama-lama bersama sang gadis itu. Kalau ia tidak ada janji bersama Viletta, mungkin sampai malam ia disini.

Aku Cinta Tapi MaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang