Page #11 - Take Home

11 0 0
                                    

  Matahari telah condong ke barat. Kian menit terus berjalan, dan terus condong. Tak terbebas dari awan. Nampak dari balik kaca mobil berisikan dua sosok. Satu perempuan satu laki.

  Penampakan pergi dan pulang, tak beda jauh. Apalagi hari semakin sore, penduduk kota ini mencari hiburan di akhir pekan. Waktu yang tepat bersantai, bersenang.

 
  Satu jam berseluncur ria di bidang es. Nyaris tanpa rasa. Empat jam lebih mereka di mall, dan salah satu diantaranya mau tak mau mengakhiri kemesraannya. Janjinya pada sahabat kuliah tak boleh diingkari. Meskipun baginya itu tidak penting.

  "Coba aja gue gak ada janji." gumam Manuel. Nadanya agak kecewa.

  "Iya juga sih." lemas gadis itu pada jok mobil. "Gue betah sama lo deh Nic,"

  "Sama. Gue aja seneng banget bisa jalan bareng sama lo," sahutnya sambil tangan tetap menyetir.

  Jalan raya di depan mata. Baru saja keluar dari lapangan parkir yang amat menyengsarakan. Panas, padat, penuh klakson tidak jelas dan tidak sabaran.

  "Gue mau sih kalo lo ajak ke mall lagi. Tapi jangan TA lagi,"

  "Ayo," balas Manuel bersemangat. "Tapi lain waktu,"

  "Ehm.." dehamnya. "Nanti gue sering kontak lewat personal chat aja,"

  Manuel mengangguk. "Siplah. Lo sering-sering chat juga gak masalah. Gak usah masalah mall aja,"

  Ia tertawa lebar. "Jomblo sih. Sepi,"

  Manuel ikut dalam tawa gadis itu. Memang diakui. Tapi akuinya itu, berharap juga sesering mungkin bersama gadis itu saling berhubungan. Apalagi pacaran..

   "O ya. Tangan lo tadi kek es dah," lanjut Adeline berbicara.

  "Gue gak biasa main ya gitu," ucapnya menaikkan gigi mobil. "Tambah lagi ketakutan jatoh. Kan gak lucu Line. Makin dingin tangannya,"

  Ia mengangguk. "Itu tangan gue udah kek megang lantai tau gak,"

"Lantai lo pegang Line. Gak ada kerjaan."

Gadis itu mencolek Manuel yang terbahak-bahak.

                                       ♧

  Sinarnya menguning. Tidak memutih lagi seperti tengah hari. Jam arloji Manuel terpampang angka empat, dan menitnya hanya dalam hitungan jari menuju angka 60. Arlojinya secara bodoh tak pernah dipandang pria itu. Hanya jam ponselnya.

  Hanya pandang ibukota yang bosan akan macet. Tembus jalan tikus, cukup membantu, tetapi tidak bertahan lama. Acapkali melewati jalan tikus, harus bertemu pak ogah yang seenaknya mengatur lalu lintas.

 
  Gadis itu asyik memainkan ponselnya. Kadang berselfie, memainkan wajahnya sampai bibirnya dimonyong-monyongkan. Setelahnya, ia memainkan aneka sosial media yang nampaknya cukup berjibun. Apa rupanya gadis itu suka bergaul juga? Masa SMAnya biasa saja, tidak terlalu bergaul, tapi tidak terlalu pendiam juga.
 
  Manuel menujukan konsentrasinya pada jalan. Sesekali gadis itu ia pandang juga. Tak ingin rasanya jauh dengan dirinya. Tak ingin juga berpisah dalam waktu yang singkat.

  Ingin rasanya hatinya ia ungkapkan sekarang. Suatu kesempatan besar. Ulur-mengulur untuk mendekatkan hatinya pada gadis berusia 19 tahun itu sudah berbuah besar.

  Ditengah ributnya suara bising telolet, Manuel memandang lagi gadis disampingnya. Ini kesekian kalinya gadis itu ia lihat. Minatnya untuk mencintai gadis itu sangat besar, dan peluang untuk diterimanya juga turut sama, apalagi saat masih di pusat perbelanjaan, beberapa kali gadis itu dibuat senang oleh dirinya.

  Mending nanti. Jangan sekarang. Terlalu cepat. Ia akan begitu kaget, dan mudah untuk menolak. Tunggu saat bertemu dia lagi. Jangan gegabah. Lagipula ia ingin mengajak jalan lagi bukan pada lain waktu?

                                       ♧

  Sebuah jalan kecil yang persis ia kunjungi tadi, ia lewati kembali. Dengan pelan, ditambah lagi harus bersabar. Ditengah sebuah jalan yang agak disebut perkampungan, sebuah jalan yang kecilpun bisa menjadi lapangan bola.

  Kadang juga Manuel harus menekan klaksonnya dengan kencang.

  "Sabar aja, gue pulang kerja juga kek gitu," tawa Adeline.
 
  "Mobil gue Line. Takut kaki mereka kelindes aja."

  "Pelan-pelan. Atau marahi mereka ditempat."

  Manuel melirik gadis itu. Ngelawak?

  "Ya kalo bapaknya gak galak sih gak masalah,"

  Ia tertawa lebih lebar lagi. Manuel hanya geleng-geleng melihat tingkah gadis itu.

  Pelan-pelan selamat di jalan. Sebuah rumah bercat kuning terang ada disamping mobil. Terkunci rapat karena orangnya pergi, dan sekarang telah kembali.

  Ia lalu membereskan barang bawaannya. Termasuk belanjaan kecil yang kadang ia beli pula, sepulang skating.

  "Gak ada yang ketinggalan kan?" Manuel mengingatkan.

  "Nggak." Ia lalu mensleting tasnya. "Udah semua gue masukin."

  "Sip." Lalu Manuel tersenyum.

  "Makasih ya Nic, udah nemenin gue hari ini. Gak nyangka gue jalan sama lo. Gue kira lo diem gitu taunya malah asyik banget."

  Manuel mengubah senyumnya menjadi tawa. "Iyalah. Gue emang beda sama yang dulu,"

  "Nanti deh, gue sering-sering chat lu, kasih kabar gitu. Gue jalan sama lo udah kek gue jalan sama lima orang,"

  "Oke." Manuel lalu menatap belakang. "Line jangan lama-lama, keknya ada mobil tuh,"

  "Iya. Hehe. " ia lalu tersenyum di hadapan Manuel. Tatap matanya tajam menatap pria itu.

  Manuel , terpaku pula melihat dirinya.

 
  "Kenapa Line?" Tanya Manuel beberapa detik kemudian.

  "Nggak." Ia lalu mengalungi tasnya lebih ke atas lagi. "Oke gue masuk rumah dulu yak,"

  Ia lalu memegang gagang pintu dan keluar dari mobil Manuel. Langkahnya ia arahkan menuju depan pagar rumahnya.

  Pria yang sebelumnya duduk disampingnya dan ia tatap penuh senyum membuka jendela, lalu melambaikan tangan padanya. Lambaiannya pun dibalas. Hingga akhirnya kendaraan bermotor itu menjauh, dan jauh berbelok tidak terlihat matanya.

                                      ♧

  Gemerlap awan gelap di ujung selatan ibukota. Kadang kilat bersahut saling menyambar dengan guntur. Ah rasanya hujan ingin turun nanti malam.

  Rumah gadis itu mulai jauh di hadapannya. Ingin masih berlama bersama gadis itu. Tentulah bersama yang ia suka, ia pun betah. Uang rela keluarkan demi gadis itu bahagia di tangannya.

  Manuel menatapnya ke belakang. Gadis itu masuk kerumahnya. Sedikit ruwet dengan gembok pagarnya. Ingin membantunya, tapi ia telah jauh. Tambah lagi deretan mobil yang mungkin akan menunggunya, jika berhenti.

  Ia kembali menatap jalan di hadapannya. Hanya pertigaan yang ia temui. Mau tak mau, saat menghadap belakang, gadis itu tidak nampak lagi. Hanya kondisi jalan perkampungan yang sedikit menyesalkan. Sempit, banyak anak kecil berkeliaran tak jelas tanpa pengawasan orangtua, dan  kendaraan terutama mobil yang suka melawan arah.

  Manuel berbelok. Tak jauh di depan jalan raya menyambutnya.

  Dirinya tidak pernah habis pikir bersama gadis itu. Pengalamannya hari ini mungkin hari yang tidak bisa dilupakan sama sekali. Terutama kala dirinya bersentuhan fisik. Sungguh menyenangkan, tidak menyangka. Senyumnya seringkali mencuci pikirannya. Kecantikannya mengubah nampak surga yang semula tak menarik menjadi menarik.

Lalu tadi, Apa maksud senyumnya?

Aku Cinta Tapi MaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang