Page #10 - Cinema & Skate

10 0 0
                                    

"Kenyang juga. Gue udah lama gak makan kek gituan. Makasih ya Nic..."

  Manuel Nicholas. Dirinya sedang berbunga sekarang. Muncul seri-seri wajah yang penuh rasa gembira, tidak menyangka dan tidak percaya.

  "Sip lah Line. Kapan-kapan kalo jalan sama gue, gue beliin lagi kok,"

  "Yakin?" Ia melihat Manuel dengan wajah senang.

  "Ehm." deham pria itu. "Gak masalah kan?"

  "Asal lo gak keberatan aja," sahutnya sambil berjalan meninggalkan restoran bernuansa negeri matahari terbit itu.

  Sudah satu jam lebih mereka habiskan, di mall yang terletak di Jakarta bagian barat. Waktu kian berlanjut, pusat perbelanjaan cukup besar itu makin menjadi primadona pengunjung untuk berakhir pekan, menghabiskan waktunya disini.

  "Lo mau kemana sekarang?" tanya Manuel, berjalan sambil mengantongi tangannya.

  "Lo?" Tatap balik Adeline. "Gue sih bioskop." Ia lalu menatap depannya. "Biasanya jam segini paling efektif. Mau rame juga gak rame banget."

  "Ayo dah. Nanti lama lagi kan capek. Tau sendiri ngatrinya gimana?"

  Gadis itu mendahului Manuel. Langkahnya lebih cepat. Pria itu tetap santai berjalan, tapi tidak juga sampai ketinggalan jauh.

 
  Ponsel sesekali ia keluarkan. Hanya untuk melihat jam. Gadis sahabat kuliahnya itu hendak menghabiskan malam minggunya bersama Manuel. Entah apa yang ada di benaknya, sampai mau berjalan-jalan di malam minggu. Biasanya paling males.

  Janjinya masih punya waktu yang berjarak jauh. Masih punya waktu pula, Manuel terus mendekati Adeline, pujaan hatinya sejak SMA. Tak peduli sebenarnya dengan Viletta. Suka atau tidaknya gadis itu, ia mementingkan orang yang lebih ia cintai lagi.

  Kabar dengan Adeline. Menunggu Manuel di depan pintu bioskop. Di lantai paling atas mall. Tidak asing sebenarnya bagi Manuel, lantai ini. Acapkali ia membawa karangan bunga di salah satu sisi mall ini.

  "Nic, rame," celotehnya sesampai Manuel menghampiri.

  Lelaki itu memandang barisan yang cukup meluber.
  "Gak papa kali, paling lima menit ngantri,"

  "Gapapa?" Adeline meyakinkan. Mata cantiknya tertuju pada mata Manuel.

  Manuel mengangkat alisnya.

  Gadis itu kini masuk. Tidak lagi berdiri di ambang. Manuel tetap mengikutinya, dan membiarkan gadis itu berlari ke barisan antrian, atau jika tidak, barisan itu lebih mengular lagi.

   "Filmnya masih nyisa 30 menit gak papa kan?"

  Manuel menggeleng. "30 menit gak lama kok," lihatnya pada layar televisi berwarna hijau. "The Guys ya?"

  "Iya. Abis film lain lama-lama semua."

  "Menarik. Oke deh."

 
  Manuel meraba saku celananya. Selembar warna merah bergambar sepasang proklamator Indonesia, dan lembaran biru bergambar sosok pahlawan Bali ia cari. Bersama kunci mobil dan ponselnya.

  "Nih," serahnya pada Adeline. Tapi Adeline mengembalikannya ke tangan Manuel, sebelum Manuel menarik tangannya lagi ke balik celana.

  "150 ribu? Gak kebanyakan? Lo mau beliin buat siapa aja?" Ia berbalik pada Manuel.

  Manuel tetap menyodorkannya. "Ya buat lo juga."

  Wajah Manuel ditatap gadis itu.
  "Udah gue aja bayar tiket sendiri. Kan emang niat gue ngumpulin duit buat nonton,"

Aku Cinta Tapi MaluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang