Invalidite | 3

685K 45.9K 4.6K
                                    

Oh please, don't pretend like you actually care.

- Dewa Pradipta -

Rupanya Dewa tidak cukup sabar untuk terus mendengarkan Pak Brata bicara.

Setelah dengan sengaja membanting keras pintu ruangan, kini ia berjalan di lorong seperti siap menghabisi seseorang.

Berani sekali orang tua itu memerintahnya. Dia hanyalah rektor, dan Dewa adalah keturunan Pradipta aka. Pemilik kampus. Tidak perlu ditanya siapa yang harusnya memerintah siapa bukan?

Langkahnya terhenti karena gerombolan mahasiswa keluar dari kelas dan memenuhi jalan. Ia yakin tampilannya cukup menakuti untuk orang-orang itu menepi. Belum lagi ia melangkah, ranselnya ditarik keras dari belakang.

"Kamu mau kemana?"

Jika dihitung dalam skala satu sampai sepuluh, jarum kemarahan Dewa sekarang menunjuk nomor lima. "Lepas."

Pelita, yang sudah susah payah mengejar Dewa tentu semakin mengeratkan pegangan. "Tadi itu Pak Brata belum selesai ngomong. Jangan main pergi gitu aja. Gak sopan tau sama orang tua. Kamu nanti tua emang mau di kurang ajarin gitu?"

Jarumnya menunjuk nomor enam. "Lo gak perlu ngatur gue. Dipikir lo siapa?"

Dewa menepis tarikan cewek itu.Bisa mereka rasakan pandangan dari beberapa mahasiswa yang penasaran. Dewa pun melancarkan tatapan tajamnya pada sekumpulan mahasiswa yang baru selesai memakai laboratorium di lantai itu.

"Liat apa?! Cabut!"

Tidak perlu diteriaki dua kali pun mereka sudah mengambil langkah pergi.

"Bisa gak itu ngomongnya jangan kenceng-kenceng. Nanti urat lehernya putus lho. Kalo mati disini siapa yang repot?"

Jarumnya bergeser lagi ke nomor tujuh. Dewa tidak bisa menahan untuk melotot. "Lo nyoba nguji kesabaran gue?"

Pelita menggeleng. "Bukan kesabaran. Aku disuruh nguji kepandaian kamu. Pake bimbingan. Lagian, heran deh kenapa hobi banget gak masuk kelas."

Dewa menggertakkan gigi namun Pelita masih melanjutkan.

"Tunggu," Pelita mengapit satu tongkatnya dan membaca kertas yang tadi Pak Brata berikan. "Nama kamu Dewa Pradipta?" Pelita mendongak, mengapit kertas dan tersenyum manis seraya menjulurkan tangannya. "Aku Pelita,"

Dewa memandang tangan itu serta pemiliknya bergantian. Menepis jabat tangan menjauh, ia kemudian maju selangkah mendekat hingga bisa mencium aroma bedak bayi dari sosok di depannya. "Gue gak peduli nama lo siapa."

Pelita mendorong bahu Dewa. "Aku kan pembimbing kamu. Sebelum mulai harus saling kenal dulu. Setelah itu baru kita bicarain waktu dan tempat yang tepat,-"

Dewa mendengus. Untuk apa ia melakukannya? "Gue gak mau tolol!."

Seakan tidak terpengaruh, Pelita justru menampilkan ekspresi bingung. "Kenapa? Tadi kamu dengar sendiri kan Pak Brata bilang kalo -,"

"Denger, sebaiknya lo pergi dari hadapan gue. Gue kasih kesempatan mundur dan lupain apa yang orang tua itu bilang. Karena gue gak akan pernah ngelakuin apa yang dia minta."

"Kenapa gak mau?"

"Itu bukan urusan lo!"

"Karena aku yang ditunjuk jadi pembimbing, aku berhak tau."

"Bukan gue yang minta itu. Bisa gak lo kembali ke alam lo dan gak usah recokin gue!"

Pelita menyipitkan matanya penuh selidik. Lalu menunjuk Dewa sembari terkekeh. "Kamu pasti takut ketauan begonya kan? Ya kann? Gak papa kok. Semua orang itu memang perlu waktu buat belajar. Gak bisa langsung pinter dulu. Tapi gak ada yang bodoh juga, yang ada itu malas."

Invalidite [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang