Pernah terpikir sekali untuk pergi. Lalu berhenti pada hari dimana kamu datang membawa patahan hati. Memintaku memperbaiki. Bodoh sekali jika mau menerimanya.
Aku menerimanya.
Karena meski patah, hatiku berkata bisa membuatnya kembali sempurna.***
Di ujung hari Pelita sering terdiam sendiri, memikirkan apa yang sudah terjadi. Ada yang baik. Ada juga yang kurang baik.
Ibunya pernah berkata, kalau yang kurang baik itu bisa saja hal baik bagi orang lain.
Misalnya, Pelita pernah pulang sekolah dengan rok penuh lumpur, akibat terkena cipratan genangan air di pinggir jalan sehabis hujan di depan sekolahnya ketika ia sedang menunggu angkot. Padahal ia memakai seragam baru hadiah dari ibunya.
Lalu terpikir seperti ini, bisa saja mobil yang melintas begitu cepat itu tengah buru-buru mengejar sesuatu. Entah kepentingan pekerjaan yang perusahaannya mau bangkrut atau bisa jadi mengejar seseorang di rumah sakit yang sekarat.
Hal baik bagi orang itu, bisa sampai di meeting penting dan menyelamatkan perusahaannya, atau bisa jadi sampai di rumah sakit tepat waktu. Kalau begitu apa artinya noda di roknya, kalau ternyata pemilik mobil itu bisa berjumpa untuk terakhir kalinya dengan saudaranya yang sekarat.
Sejak itulah Pelita tidak pernah mengartikan sebuah harinya dengan kata buruk. Karena bisa saja, harinya yang buruk menjadi alasan hari baik untuk orang lain.
Sama halnya ketika ia menemukan lukisannya tergeletak di lantai pagi ini.
"Ini rahasia kita. Jangan sampai ada yang tau," ujar Pelita berbisik. "Kayaknya tadi ada angin jadi lukisannya jatoh,"
"Angin apaan yang bisa bikin lukisan kamu kebelah jadi dua gini?" sahut Bobby. Ia mengambil lukisan itu dari lantai dan memeganginya. "Ini mau dikumpul besok, kan?"
"Aku bisa bikin lagi kok," Pelita lalu duduk di atas kursi, menyampirkan tongkat di sebelah kiri, memandang jam dinding di atasnya. "Masih ada 23 jam lagi sebelum di kumpul besok, hehe..."
Bobby tau benar jika memaksa Pelita mengatakan lukisannya yang hancur sebagai alasan kompensasi pemberian waktu lebih dan tidak mengumpul tugas adalah sia-sia. Jadi ia hanya bisa membantu menyiapkan kaki kanvas beserta kanvas dan juga seperangkat bak cat.
"Kadang tuh aku heran kenapa kamu bisa baik banget sama orang, Ta." Ujar Bobby mengambil kaleng cat di atas lemari yang cukup tinggi, membukanya dengan jari. "Kamu gak pernah marah emangnya?"
"Gimana ya," Pelita memilih beberapa kuas. "Aku cuma ngerasa nggak berhak marah. Semua orang punya alasan ngelakuin sesuatu, mau baik atau buruk. Aku cuma perlu memahami alasan mereka ngelakuinnya aja,"
"Dan alasan mereka ngancurin lukisan kamu adalah?"
Pelita berpikir sesaat sebelum tersenyum pada Bobby. Cowok itu sudah berhasil membuka kaleng cat dan menatapnya. "Mungkin dengan ngelakuin itu bisa membuat mereka senang. Bisa jadi lega."
"Dengan cara menjaili orang lain maksud kamu? Itu tindakan buruk namanya."
"Kalo urusan itu balik ke pertanggung jawaban mereka masing-masing. Kita sebagai sesama manusia, cuma kebagian tugas buat sabar aja." Pelita terkekeh. Sudah sering kali ia membahas ini dengan Bobby.
"Biar kita sering bahas ini, kayaknya aku gak bakal bisa ngerti cara berpikir kamu, Ta. Sekarang kamu pacaran sama Dewa. Aku yakin tambah banyak orang yang ngelakuin ini sama kamu."
Ya. Mungkin. Bukan hal yang biasa tentunya, bagi Pelita menjadi pusat perhatian. Meski ia menghadapinya dengan senyuman, tetap saja keterkejutan setiap kali ada orang yang menyapanya masih ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Invalidite [Completed]
Romance(Sudah diterbitkan - Tersedia di toko buku) #1 in Romance, 10 Januari 2018 Dewa Pradipta adalah 'dewa' dari segala keburukan. Sebut saja, berkelahi, mabuk-mabukan, dan mempermainkan wanita. Berbekal nama terpandang dan kekayaan yang mengikutiny...