Invalidite | 14

448K 42.4K 7.7K
                                    

Dia yang tersakiti oleh kenangan adalah dia yang terkurung oleh masa lalu.

-Dewa Pradipta-

Mimpi buruk seperti biasa berhasil menarik Dewa untuk terjaga. Dan hal pertama yang ia temukan setelah membuka mata adalah Pelita.

Akal sehatnya tidak bekerja begitu baik karena ketegangan yang masih dirasakan dari alam bawah sadar tadi, membuatnya refleks menjangkau cewek itu dan memeluknya.

Mengejutkan, bahwa rasanya menenangkan.

Seperti menemukan oase di gurun. Dewa menarik Pelita lebih dekat. Memangkas jarak untuk memeluk lebih erat.

Masih belum puas mengambil semua kehangatan Pelita, kedua bahu Dewa sudah di dorong tangan kurus itu menjauh. Kedua mata Pelita membulat dengan kekhawatiran yang nyata disana.

"Kamu sakit?" Pelita meletakkan tangannya di dahi Dewa, yang membuat cowok itu memejamkan mata. "Badan kamu panas."

Benarkah?

Yang Dewa rasakan saat ini hanyalah tekanan di ulu hatinya akibat mimpi tadi. 'Teman tidur' yang tidak membiarkannya beristirahat selama tujuh belas tahun terakhir.

Dewa lalu menyurukkan kepalanya di bahu Pelita. Mencari perlindungan di tempat yang tadi ia temukan ketenangan. Dewa Lelah. Sangat lelah sampai ia tidak ingin menghadapi apapun lagi.

"Kamu lagi sakit, nanti aja main pelukannya, ya." Pelita mendorongnya lagi untuk berbaring. Kali ini Dewa tidak sanggup menolak karena pusing yang teramat sangat. Telinganya berdengung serta helaan napas panas yang ia hembuskan serasa menyakitkan tenggorokan.

Dewa haus. Namun ia hanya diam. Ia terbiasa menahan sakit sendirian. Meredamnya seolah kekuatannya cukup banyak. Lalu menunggu sampai sakit itu pergi setelah puas menyiksanya.

"Dewa," sentuhan di lengannya membuat Dewa membuka mata. Pelita disana, duduk di sisinya dengan baskom berisi air yang entah ia dapat dari mana. Sesuatu yang sejuk menempel di dahinya kemudian.

Lagi, Dewa merasakan ketenangan di dalam dirinya. Membuat kelopak matanya berat dan kembali tertidur. Tanpa mimpi buruk, namun dengan sebuah genggaman tangan hangat nan lembut.

***

Kepalanya masih berdentum seirama ketika mata Dewa terbuka. Rumahnya sudah berpenerangan remang, dan ada sosok perempuan di sampingnya.

Pelita sumringah melihatnya. Baskom berisi air yang menyusut terletak di atas meja. "Aku pikir kamu gak bakalan bangun,"

Memangnya dia mau Dewa mati?

"Aku gak bisa pulang gitu aja sebelum mastiin kamu udah minum obat atau belum,"

Dewa mengernyit. Ia tidak ingat kapan terakhir kali harus minum obat. Lagipula ia tidak butuh itu untuk meredakan sakitnya. Ini berbeda. Tidak ada obat untuk luka yang tak terlihat.

"Belum, kan?" Tanya Pelita. Sedang Dewa kembali memejamkan mata. "Maaf ya aku masuk gak ijin kamu. Tapi aku udah ketuk pintu terus bilang Assalamualaikum kok tadi. Lagian kamu dihubungin sibuk terus. Aku kan bingung mau nyari kemana."

Beberapa saat kemudian, Pelita menyentuh lengannya lagi. "Dewa, buka matanya sebentar." Cewek itu menyodorkan sendok berisi bubur ke arahnya. "Tadi aku bikin ini,"

Sesaat Dewa hanya menatap tanpa ekspresi. Membiarkan sodoran sendok menggantung.

"Makan, ya. Abis itu minum obat. Biar panasnya bisa turun,"

Invalidite [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang