Invalidite | 16

456K 41.3K 3.6K
                                    

Ada hal yang memang sengaja dihadirkan untuk membuatmu jatuh. Untuk kemudian belajar bagaimana caranya bangkit.

-Pelita Senja-

"Abis ini, beresin dulu hasil fotonya. Gue ngeceknya ntar di rumah. Simpan di hardisk, jadiin satu ama file konsep kemaren. Gue namain Kris Project."

Suasana studio masih cukup ramai dengan kru yang sedang membersihkan set. Rendi sudah menghilang bersama beberapa model sedangkan Gerka tengah memperhatikan layar pada kumpulan foto yang baru saja diambil Dewa. Cowok itu berdehem singkat sebagai jawaban.

"Ntar bilangin sama Rendi, atur jadwal buat season outdoor. Sama sekalian siapin keperluan disana."

"Iye, bos." Sahut Gerka malas.

"Gue udah ngedit sebagian dari hasil minggu lalu. Lo bisa selesain sisanya, kan?"

Kali ini barulah Gerka melirik ke arah Dewa. Tertarik akan suara berisik yang ditimbulkan sahabatnya itu sedari tadi. "Gampang." Ujarnya sembari mengangkat bahu.

Dewa tampak terburu merapikan kamera. Tidak mengecek hasil foto bahkan tidak menggosok mata lensa dari debu. Hal yang sangat tidak biasa karena selain Tuhan, cowok itu sangatlah memuja kameranya.

"Sekalian, hubungin Kris. Bilang sama dia kalo preview model udah gue kirim lewat email."

Gerka kemudian berbalik sepenuhnya menatap Dewa, bersandar pada tepi meja dengan tangan terlipat. "Emang lo mau pergi kemana?"

Gerakan Dewa menutup tas kamera terhenti, memandang Gerka yang menatapnya bingung. "Gue gak kemana-mana."

"Lah terus ngapa repot bener dari tadi. Pas pemotretan juga ga sabaran. Untung jepretan mantep semua jadi gak perlu ngulang."

Dewa menyampirkan tas kameranya di bahu. "Yaiyalah. Gue yang foto mana pernah jelek."

"Cih," cibir Gerka. "Terus mau kemana lo?"

"Ke wardrobe."

Gerka tergelak. "Kirain mau pergi keluar. Kemana gitu, ketemu klien atau apa. Taunya masih di dalam studio sini doang. Cuma lima langkah dari sini tapi lo grasak-grusuk, anjir."

Dewa mengerutkan kening. "Gue biasa aja." Sahutnya menutup resleting tas terakhir.

Gerka diam beberapa saat. Meski Dewa adalah penyimpan emosi paling pandai seantero planet, namun berdasarkan pengalamannya bersahabat dengan Dewa, Gerka tentu tidak bisa mengabaikan hawa gelisah dari gerakan cowok itu. Ia menatap ke sekeliling lalu menyadari sesuatu.

"Gue ga liat Pelita dari tadi," Gerka mendekati meja. "Bukannya dateng bareng lo?"

"Gue suruh anaknya diem di wardrobe aja."

"Kenapa emang?"

"Gatau. Anaknya makin aneh. Masa gak ngomong gue tanyain. Cuma diem aja. Tadi pas di kampus gue tinggal bentar ngambil mobil, terus pas gue balik dia duduk di aspal. Tongkatnya patah--"

Gerka pun tak kuat menahan seringainya semakin lebar, yang membuat Dewa menghentikan kalimat dan melotot. "Apaan tai?"

"Kagak-kagak," ucap Gerka terkekeh. "Gue lagi cari Rendi. Kalo dia liat lo sekarang, pasti girang. Segirang kayak mau dapet mobil baru gitu misalnya."

Dewa mendengus. "Jangan mulai, Ger."

"Jangan lupain juga sejauh apa gue kenal sama lo, Wa. Semuanya keliatan jelas di muka lo sekarang."

"Apa?"

"Kalo ini," Gerka menunjuk wajah Dewa. "Muka yang bau tai ini sebentar lagi bakal kalah taruhan sama Rendi dan kemakan omongannya sendiri." Sahut Gerka lantang kemudian tertawa. Menyulut kekesalan Dewa dan melayangkan lap dari atas meja ke arah cowok itu.

Invalidite [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang