There are some things you can only learn in a storm.
-Pelita Senja-
Sudah lebih dari dua jam ruangan luas bernuansa putih hitam itu terlihat ramai dengan kesibukan. Lampu-lampu menyala, mengarah pada satu spot dengan seorang model yang tengah berpose.
Dewa menurunkan kamera, mengendikkan bahu pada Rendi, memberikan instruksi untuk mengganti model selanjutnya. Cewek yang tadi ia potret mendekat lalu mengusap bahunya sambil lalu. Tak lupa kedipan menyertai berupa undangan secara terbuka untuk Dewa.
Baginya, bermain dengan cewek sekelas model sudah jadi hal biasa. Dewa tidak meminta, merekalah yang mendatanginya.
Kadang, jika sedang ingin, ia akan meladeni. Jika tidak, Dewa hanya akan mengganggapnya angin lalu.
Model selanjutnya sudah memasuki spot berlatar putih. Dewa kembali membidik, memutar lensa beberapa kali dan mengambil potret dengan percaya diri. Beberapa model yang tampak duduk di sisi ruang terdengar berbisik-bisik. Tidak perlu diterka siapa yang tengah jadi pusat pembicaraan.
"Demi PS-nya Gerka, gue berani bertaruh, kalau setengah dari cewek-cewek di ruangan ini ngebet banget sama lo," Bisik Rendi di sebelahnya.
"Ya jelas lah."
Rendi yang mendapat respon pongah seperti itu mendorong bahu Dewa. Membuat bidikannya meleset. Dewa mendelik serta menyikut Rendi karenanya.
Gerka sudah selesai membereskan tripod di ujung ruang mendekat. "Si Siska minta nomer lo, Wa."
"Lo kasih?" Sahut Dewa dari balik kameranya.
"Enggak lah. Gue masih inget aturan hidup lo. Jangan kasih nomor ke cewek manapun," Gerka berdecak. "Heran aja gitu mereka masih keras kepala."
Rendi terkekeh. "Jadi lo mutusin malem ini mau ama siapa? Liat tuh, mereka pada muter-muter ekor kayak kucing mau kawin. Tinggal tunjuk aja."
Gerka teringat sesuatu. "Lo gak ke gedung seni?"
Rendi ikut menoleh, ikut mendengarkan. Alih-alih menjawab, ia justru menurunkan kamera dan menganggukkan kepala tanda pemotretan hari itu sudah selesai.
Dewa hanya memiliki dua tim utama dalam pekerjaan ini. Rendi dan Gerka. Sisanya hanya ada beberapa orang yang membantu kegiatan sampingan. Jika orang lain melihat mereka melakukan hal tidak berguna, sebenarnya ini sudah boleh dibilang masuk tahap profesional.
Mereka dibayar untuk melakukan potret beberapa iklan. Baik indoor atau outdoor. Biasanya klien yang meminta sudah pernah memakai jasa Dewa sebelumnya. Lalu berjalan dari mulut ke mulut akan kemampuan jenius cowok itu menggunakan kamera.
Jika ada yang bertanya, apa yang dilakukan Dewa selama ini dengan meninggalkan kelasnya. Bisa jadi ia akan menjawab dengan menunjukkan sebuah studio besar dan jejeran klien yang menunggunya itu.
"Mana mungkin Dewa nyamperin cewek itu," sela Rendi. Mereka tengah membereskan peralatan di meja besar. "Bandingin aja sama model-model kita disini."
"Terus kenapa lo minta dia kesana, Wa?" Tanya Gerka.
"Yakali itu cewek ngikutin omongan gue."
Gerka mengangkat bahu. "Bisa aja kan. Yang gue liat sih anaknya polos bener,"
"Ya juga sih," Rendi mengambil tempat duduk di tepi meja. "Tapi sepolos-polosnya- siapa namanya? Pelita?"
Dewa mengangguk samar, masih fokus mengusap lensanya perlahan.
"Si pelita ini polos tapi ya dia gak mempan sama tampang Dewa. Mana ada cewek yang seberani dia mukul Dewa pake tongkat."
"Gue setuju," Gerka terkekeh. "Kapan lagi Dewa di-cengin sama cewek."
KAMU SEDANG MEMBACA
Invalidite [Completed]
Romance(Sudah diterbitkan - Tersedia di toko buku) #1 in Romance, 10 Januari 2018 Dewa Pradipta adalah 'dewa' dari segala keburukan. Sebut saja, berkelahi, mabuk-mabukan, dan mempermainkan wanita. Berbekal nama terpandang dan kekayaan yang mengikutiny...