Pada masa Kerajaan Majapahit, sewaktu orang-orang kerajaan dengan kaki tangan mereka masih berkuasa, ada seorang petani yang memiliki kebun di sekitar lembah Gunung Arjuno. Kebun miliknya sangat luas dan ditanami kentang, wortel dan sebagian lagi strawberry.
Pada masa itu tidak semua daerah sejahtera seperti yang ditulis dalam sejarah. Ada orang-orang penduduk sekitar yang sering mengalami kelaparan, dengan sendirinya mereka pergi mencuri buah-buah si petani itu. Wortel dan strawberry tidak banyak membuat orang-orang itu kenyang. Maka itu, yang sering kehilangan adalah kentang.
Karena sering kecurian, si empunya kebun itu mencari cara agar mencegah kehilangan kentang-kentangnya. Dibuatlah sebuah pagar dari kayu. Kayu-kayu itu malah dicabuti untuk kayu bakar. Si empunya tak kehabisan akal, dia membuat lagi pagarnya tinggi-tinggi dengan bambu lancip. Dia berharap dengan begitu pencuri tanamannya akan jera. Paling tidak mereka kesulitan untuk memanjatnya.
Suatu hari, seseorang datang karena terdorong oleh rasa lapar yang sangat hebat akibat suhu sekitar hutan Lali Jiwo yang rendah, berniat untuk memanjat pagar bambu itu. Ia tak tahu betapa bahayanya memanjat pagar runcing itu ketika ia memandang dengan penuh gairah kentang-kentang yang ranum di dekatnya. Ia dengan serakah ingin membawanya pulang untuk dimakan sendirian.
Ia mengalami kesulitan memanjat pagar yang tinggi itu, sebab tidak ada pijakan lain selain bambu disebelahnya. Tangannya kaku sebentar dan mati rasa akibat dinginnya udara malam itu. Gemetar tangannya ketika si empunya memergokinya sudah di ujung pagar yang lancip.
"Hei, siapa di situ?!"
Gelagapan sehingga terpelesetlah tubuhnya menghujam ujung pagar itu. Matilah pencuri kentang itu. Posisinya seperti daging di tusukan sate. Si empunya membekap mulut setelah tahu bahwa ada seseorang yang baru saja memanjat pagar bambunya.
Ia bergegas mencabut bambu itu dari tanah namun sulit. Patoknya terlalu dalam. Kemudian ia mengambil alat untuk memotong bambu yang tinggi itu menjadi pendek-pendek. Darah pencuri itu mengalir di permukaan bambu menuju lengan si empunya. Membuatnya gerakannya licin. Dengan bantuan darah itu tubuh pencuri itu bisa dilepas dari bambu.
Mayat pencuri itu harus segera dikubur. Ia tak mau, ketika pagi, orang-orang menjadi geger melihat deretan bambunya menyelipkan sekujur mayat di ujungnya. Ia tak mau disalahkan. Diam-diam, malam itu juga ia menggendong mayat itu menuju ke pemakaman.
Ia teringat di sekitar hutan Lali Jiwo tak ada makam. Ia harus menuruni gunung untuk menguburkannya. Tetapi itu tidak mungkin. Dirinya tak mampu menggendong mayat itu sepanjang waktu. Akhirnya ia memutuskan untuk mencari tanah lapang di sekitar kebunnya. Barangkali tanah itu nanti, kemudian menjadi tanah makam. Dengan begitu, mayat pencuri ini akan dilupakan oleh waktu. Kemudian hilang dengan sendirinya.
Tanpa tahu akan keberadaan mayat yang dikubur di dalamnya, benar, tanah kosong itu kini menjadi kuburan. Sementara perkebunannya digeser dan diwariskan turun temurun.
Berjalan seiring waktu, kematian seseorang di masa itu seharusnya sudah tidak menjadi perkara yang pelik lagi. Hanya saja masyarakat setempat menganggap bahwa hutan itu menjadi mistis, terutama memasuki kawasan Hutan Lali Jiwo. Mitosnya mengatakan bahwa kawasan kuburan tua itu menjadi pasar setannya Gunung Arjuno.
Hutan Lali Jiwo melingkar di seluruh pinggang Gunung Arjuno. Sangat luas. Mereka tidak tahu mana yang masih menjadi mistis dan mana yang tidak. Lokasi yang hanya diingat oleh orang-orang adalah tanah-tanah kosong dan tanah bekas kuburan di sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kebun Kentang
HorrorPak Lurah Naryo, Yan, Kusno, Ubed, Said, dan Dandi terkejut ketika seorang guru taat ibadah ditemukan tewas dengan mulut menganga. Salah satu organ dalamnya diambil. Guru itu adalah korban pertama. Setelah itu korban-korban berikutnya pun berjatuhan...