Wajah penggali kubur berubah pucat diterpa angin sore menggigilkannya, didera rasa lelah yang menjadi-jadi karena harus menggali dan membopong berulang-ulang. Di sampingnya, Kusno memperlihatkan muka yang mulai tak nyaman meski ia terlihat lelah. Di gundukan tanah paling atas, masih berdiri Ustad Malik yang nampak juga gelisah. Kini ia terlihat bergumam, merapal doa memohon kepada Sang Khalik untuk memudahkan proses penguburan ini. Sepanjang ia bergumam, daun-daun berguguran, angin mulai kencang dan pohon-pohon sekitar pemakaman bergoyang-goyang mengiringi suhu udara yang mulai rendah. Mata sang ustad terpejam, mulut tak henti bergerak, sebelum ia mengatup, air mukanya menatap mayat yang meringkuk, yang kafannya tak serapi sebelumnya―di bawah sana―lalu mengumandangkan sebuah perintah, "Kuburkan dengan cara apapun!"
Rombongan kecil itu hampir tak percaya mendengar kalimat itu . "Tapi kita sudah berusaha semampu kita. Mayat ini semakin berat. Ukurannya pun seperti semakin bertambah besar," ujar Ubed yang berusaha membaca situasi.
Sang ustad tiba-tiba turun dari gundukan tanah itu. Ia setengah melompat ke dalam liang lahat kemudian meraih cangkul milik Ridwan. Lelaki itu langsung menghujam tanah dengan besi cangkul untuk mengeruknya lebih lebar lagi. Disusul Kusno yang menjemput tanah yang dilempar sang ustad dengan tangan kosong dan membuangnya ke samping liang. Ridwan tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia hanya bisa mengumpati diri sendiri karena kerja tidak becus. Sang ustad memberi perintah kepada lelaki tak pandai menghitung itu untuk membenamkan Dandi ke dasar. Ia kemudian menjadi tak peduli ruang yang sesak bagi si mayit, hingga tubuh tak bernyawa itu menekuk-nekuk serupa kerangka yang meringkuk. Ridwan mengganjal mayat dengan gumpalan-gumpalan tanah, agar tidak terguling, kemudian memasang kayu-kayu penutup, berderet-deret menutupi mayat yang kafannya hampir terlepas seluruhnya. Deret kayu itu menjadi pemisah antara dunia hidup dan dunia lain, kemudian setelah itu di sanalah Dandi akan bersemanyam selamanya.
Sungguh hari semakin remang, matahari tergelincir ke barat, namun tugas Ridwan belum selesai. Untuk terakhir kalinya, si penggali kubur itu menutup tanah merah tempat Dandi beristirahat terakhir kalinya dengan pasir dan sesekali menghias kuburan dengan batu-batu. Ia menginjakinya dengan kaki agar menjadi padat. Kemudian ia memasang nisan diatasnya lengkap dengan nama si penghuni semasa hidup. Setelah semuanya lengkap, setiap orang yang melihat merasakan derai rasa iba sekaligus ngeri―pertama kali mereka melihat penguburan dengan cara demikian―menabur sisa bunga-bunga yang mereka bawa, merebakkan wangi bunga melati dan kenanga. Tak lama, tanah merah Pacung Desa Pandan Wangi berangsur-angsur sepi. Mereka meninggalkan Dandi di sana bersama angin malam dan hantu-hantu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kebun Kentang
HorrorPak Lurah Naryo, Yan, Kusno, Ubed, Said, dan Dandi terkejut ketika seorang guru taat ibadah ditemukan tewas dengan mulut menganga. Salah satu organ dalamnya diambil. Guru itu adalah korban pertama. Setelah itu korban-korban berikutnya pun berjatuhan...