11

3.3K 181 15
                                    

Hari menjelang siang, Farah mendatangi surau dan meminta Ustad Malik untuk memimpin salat jenazah. Sang ustad awalnya menolak, namun Pak Lurah Naryo memaksa meyakinkan ustad tersebut karena sebelum Dandi ada pula orang hebat yang mampu mengusir ilmu hitam lainnya dan mereka berhak mendapatkan penghormatan terakhir secara layak. Ustad Malik pun akhirnya menurut setelah ustad itu diberi amplop berisi lima lembar uang lima puluh ribuan.

Setelah salat jenazah, Farah meminta Ustad Malik untuk melihat terakhir kalinya wajah Dandi sebelum ditutup kafan. Dengan penuh derai air mata, Farah menciumi mayit dan menenggak kepahitan. Suaminya bertanggung jawab atas insiden kematian-kematian kelam di Rojowali. Orang-orang yang hadir, sebagian berbelasungkawa meskipun ia tahu tidak sepenuh hati mengingat Dandi merupakan sosok makhluk yang meneror penduduk desa.

Farah pun mendatangi rumah Ibunda Salim dengan penuh penyesalan. Ia meminta kepada Ibunda Salim agar mencabut sumpahnya waktu itu. Sungguh kejadian ini tidak dapat dimengerti Farah. Bahkan dirinya tidak mengetahui bahwa Dandi memiliki ajian selama ini.

Meskipun dengan derai air mata Farah yang tulus, Ibunda Salim tidak bisa begitu saja memaafkan Dandi. Permintaan Farah ditolak. Penyesalan Farah itu tidak bisa diterimanya. Farah akhirnya pulang dengan penderitaan yang tidak berkurang.

Kusno datang sambil mengangkat moral Farah untuk tabah. "Memang tidak mudah menerima kepergian orang terdekat kita, tapi semuanya sudah terjadi. Kita harus kuat menghadapi ini."

Keranda yang kosong mulai terisi jenazah Dandi. Benda itu ditopang oleh sedikit kerabat Ubed dan Yan. Terlihat Kusno memanggul paling depan bersama sang ustad. Farah masih sempat menabur bunga di keranda yang sedang digotong tersebut. Ia merasakan kekhawatiran roh Dandi di liang lahat nanti, sebab ia tahu suaminya tidak akan selamat sempurna sebelum dimaafkan oleh keluarga-keluarga korban. Mereka yang tidak memaafkan itu tidak ikut mengiring jenazah. Hanya setabur bunga yang dilempar sekenanya yang bisa mereka lakukan untuk mengiringi tubuh berselimut kafan itu sebelum tanah menutupi semuanya.

Farah masih meraup bunga dan menaburkannya ke keranda. Ia berjalan tidak menjauh dari keranda, yang beriringan dengan istri Said dan orang-orang yang berdendang memuji Nabi. Sepanjang jalan, wajah sendu Farah tidak luruh. Istri Said yang berjalan disebelahnya berkali-kali mengelus punggung Farah mencoba mengabaikan cibiran-cibiran orang-orang yang tidak ikut mengiringi ketika mereka lewat.

"Jare ne, wong kui due ilmu bisa dadi siluman."

"Astaghfirullah, moso?"

Beberapa orang menambah-nambahi cerita sehingga menjadi jauh dari kenyataan, membuat hati Farah semakin terkikis.

"Iso ngilang."

"Mangan bocah bayi eh! Lha wong anakke dewek pan dipangan jare ne."

Rombongan itu menerobos jalan setapak yang memotong hutan Lali Jiwo, di bawah pijar matahari yang terhalangi pepohonan tinggi hutan itu, ke tempat pemakaman umum bernama Pacung di desa Pandan Wangi. Ketika sampai di gerbang pemakaman, Kusno hampir tersungkur akibat keranda menjadi berat seketika. Orang-orang terkejut karenanya. "Aku ora opo-opo. Kakiku kesandung," tukas Kusno beralasan.

Tangannya kembali membetulkan posisi keranda sekaligus memunggut benda yang terjatuh. Ia tak sempat memperhatikan benda apa itu, karena terburu-buru, ia langsung memasukkannya ke dalam saku.

Farah berhenti di pintu masuk pemakaman bersama perempuan-perempuan yang ikut mengiringi jenazah, karena syariat tidak memperbolehkan wanita―baik itu sanak maupun keluarga―untuk memasuki pemakaman. Ia hanya bisa melihat suaminya dari kejauhan digotong menjauh, meninggalkan dirinya dan Rahma.

Kebun KentangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang