Hidup itu berat.
Ya, aku tahu akan hal itu.Karena selama dua puluh lima tahun hidupku, aku telah merasakan beratnya hal itu. Mungkin saat bayi masih disangsikan bahwa aku sudah merasakannya, tapi siapa tahu, kan? Toh, aku juga tak begitu ingat-ingat amat sama kehidupan zaman aku bayi.
Tapi yang jelas, masa-masa tergalauku adalah masa-masa SMA. Masa-masa itu juga yang membuatku sadar bahwa hidup itu enggak gampang. Apalagi di tahun terakhir SMA.
Aah… kenapa aku malah menceritakan hal ini?
Hanya ingin mengingatkan diriku sendiri yang sudah kepala dua ini bahwa masa di umurku tujuh belas itulah yang paling sulit.
Sulitnya itu tidak membuatku sampai banting tulang, kok. Aku masih makan jerih payah orang tuaku saat itu.
Semester satu memang aku masih santai, masih menganggap bahwa kelas tiga sama sekali bukan masalah. Buktinya, aku masih saja menggosip ria di bangku kedua pojok dekat meja guru bersama ketiga temanku di kala semua teman sekelasku sudah belajar untuk SBM. Aku yang di kala itu masih berpikir bahwa SBM masih bisa dikejar saat semester dua nanti.
Jangan gebuki aku karena pemikiranku itu.
Semester satu berjalan dengan lancar dan bisa dibilang raporku lumayan bagus walau tidak masuk lima besar. Namun sepuluh besar sudah membuatku terus mengucap syukur.
Semester dua dimulai dan teman-temanku sudah gencar-gencarnya belajar sedangkan aku… belajar sih, tapi enggak setekun mereka.
Di kala mereka belajar SBM, aku sibuk dengan UN.
Di kala mereka sudah paham akan semua materi SBM, aku masih sibuk komat-kamit hapalan untuk pelajaran UN.
Ya, kalian benar.
Aku begitu karena aku mengharapkan satu jalan menuju universitas impianku. Jalur undangan.
Aku memang bodoh, maka dari itu aku sama sekali tak memikirkan SBM karena sudah dipastikan aku tak akan lolos. Tapi entah kenapa… aku masih memegang erat harapan ini.
Hari demi hari kulalui dengan belajar untuk USBN, US, dan UN yang membuat kantong mataku semakin turun ke bawah. Dan saat UN sudah berlalu, di saat itulah terpaan akan pengertian hidup menghampiri diriku.
Melihat kemampuanku saat UN, aku langsung merasa mundur untuk undangan. Memang, UN memberikan persentase untuk undangan walaupun tidak banyak.
Pemikiran lain terus masuk ke diriku dan bertanya-tanya pada diriku sendiri: apa jadinya kalau aku tak lolos undangan?
Kalau untuk SBM, 90% aku yakin aku tak akan lolos. Aku memang belajar untuk itu, tapi tetap saja aku tak percaya diri.
Di kala aku sedang pusing-pusingnya, aku menatap mamakku yang tengah makan tahu bersama aku dan adik. Pemikiran ini terlalu rumit rasanya, sampai-sampai aku memberanikan diri bertanya.
“Mak, Mamak bahagia kalau Kakak gimana?”
Mamakku yang tengah makan tahu berhenti, begitu juga adikku.
Sampai saat itu, aku masih yakin bahwa yang bisa membuat mamakku dan bapakku bahagia adalah dengan masuk universitas ternama Indonesia. Tapi jawaban Mamak membuatku tertegun.
“Mamak bahagia kalau Kakak bisa menghasilkan uang sendiri.”
Aku bingung. “Mamak enggak senang kalau Kakak masuk universitas?”
“Bukannya enggak senang, tapi kalau Kakak bisa menghasilkan uang sendiri, Mamak lebih bahagia lagi. Menghasilkan uang sendiri enggak mesti punya gelar sarjana. Ingat, kesuksesan seseorang itu enggak dinilai dari pendidikannya. Banyak, kok, sarjana tapi nganggur. Yang paling penting kan, kitanya semangat mau kerja dan berusaha apapun yang penting halal.”
Mendengar itu, aku serasa mau nangis. Betapa sederhananya bahagia kedua orang tuaku.
Mulai saat itu, aku tak lagi galau tentang universitas. Aku benar-benar sudah menyerahkan semuanya pada yang di atas. Kalau Allah berkehendak aku lolos, maka aku akan berjuang untuk kuliah. Jika tidak, maka aku akan berjuang untuk hidup keluargaku.
Pengumuman pun tiba. Aku takut, tapi lebih mempasrahkannya pada Allah. Dan saat itu, temanku yang membukakannya untukku karena aku tak berani mengetikkan namaku di website. Dan tiba-tiba, kawanku mengatakan padaku bahwa aku lolos. Aku awalnya tak percaya, tapi terkejutnya bukan main saat ia menyodorkan ponselnya dan menunjukkannya padaku.
Warna hijau mendominasi di sana.
Mengatakan bahwa aku lolos di universitas impianku.
Aku bersyukurnya bukan main sambil bertanya-tanya: bisakah aku lebih bahagia dari ini?

KAMU SEDANG MEMBACA
Wa'alaikumsalam, Beijing
Художественная прозаKalau ada 'Assalamualaikum, Beijing', maka di sini ada 'Wa'alaikumsalam, Beijing'