Sepertinya aku jadi orang paling bahagia saat ini.
😊
Aku mendongak dan menatap bangunan empat lantai di hadapanku. Bangunan bercat putih dengan corak abu-abu itu tampak tua. Ya, sebagian besar bangunan di China memang tampak seperti bangunan tua. Tapi aku harap, isinya tak setua luarnya. Ingat, jangan nilai sesuatu dari sampulnya.
Bangunan yang sedang kupindai ini, Insya Allah akan jadi tempat tinggalku selama berkuliah di China. Lumayan dekat dari kampus, walau sepertinya aku harus tetap beli sepeda. Selain beli sepeda lebih murah, lebih sehat, dan juga lebih nyaman buat keliling santai. Apartemen ini juga termasuk murah meski berada di dekat kampus dan pusat kota.
Aku baru datang untuk melihat bangunan ini pertama kali. Selama ini, Tita yang bantu mengurus semuanya, termasuk menyewakan apartemen ini. Aku rasa aku harus berterima kasih sebesar-besarnya pada Tita. Mungkin membelikan oleh-oleh untuknya bisa dianggap sebagai balas budiku padanya.
Sebelumnya, saat baru tiba di Beijing Capital International Airport, aku sempat menginap di hotel yang tak terlalu jauh dari bandara. Harga sewanya memang mahal untuk ukuran menginap satu malam. Tapi jam yang sudah menunjukkan pukul satu malam dan aku yang tak tahu apa-apa tentang China, membuatku malas untuk mencari-cari hotel yang lebih murah. Toh, aku juga cuma semalam di sana.
Jadi aku menarik koperku masuk dan langsung dihadapkan pada senyum seorang wanita paruh baya. Aku balas tersenyum, sedikit bertanya dalam hati apakah ia bisa bicara dalam bahasa Inggris.
"Good morning, Miss. Can i help you?"
Aku mendesah lega. Setidaknya aku tak kesulitan untuk menanyakan kunci kamarku.
"Morning too, Mam. I have made a book in this apartement. Would you show me where is my room?"
Wanita itu mulai mengambil sebuah buku besar lalu memakai kacamata ovalnya. "Could you say your name, Miss?"
"Ah, Nawendy Saphira."
Wanita dengan nama Wu Jiao (yang kutahu setelah melirik bet name- nya) itu langsung memindai bukunya lalu mengangguk setelah menemukan namaku. "Your room in the second floor number 12. And this is your key, Miss."
Aku langsung menerima dua kunci yang disodorkan oleh Nyonya Jiao. Setelah mengucapkan terima kasih, aku langsung menarik koperku dan membawanya naik ke setiap anak tangga yang ada. Memang sulit, tapi syukurnya aku bisa mengangkut koperku karena barang yang kubawa juga tak terlalu banyak, jadi aku tak harus naik turun tangga beberapa kali.
Aku langsung menyusuri koridor lantai dua yang tampak bersih, berbeda sekali dengan kondisi bangunan bagian luarnya. Tuh, kan, apa kubilang? Belum tentu sampulnya jelek, dalamnya juga jelek.
Akhirnya, kamar nomor dua belas kutemukan juga setelah sibuk melirik kayu di atas pintu semua orang. Kamarku ada di nomor dua paling ujung. Saat aku baru mau memasukkan kuncinya, pintu sebelahku berayun membuka. Aku melirik seorang wanita yang baru keluar dari sana. Wajahnya yang benar-benar menandakan bahwa ia seorang keturunan tionghoa menoleh padaku. Saat kami saling berpandangan, ia mengulum senyum. Melihat itu, aku juga langsung membalas senyumnya. Kesan pertama harus baik, terlebih lagi orang ini adalah tetanggaku.
"Ni hăo," sapanya.
Ah... dia bicara dengan bahasa China. Untungnya aku tahu apa arti tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wa'alaikumsalam, Beijing
General FictionKalau ada 'Assalamualaikum, Beijing', maka di sini ada 'Wa'alaikumsalam, Beijing'