Yang kuyakini sekarang, api tak bisa dibalas dengan api
҉
Aku duduk diam sambil mengaduk minumanku tak bersemangat. Pandanganku memang ke depan, tapi siapa saja akan tahu bahwa saat ini aku tengah kosong. Entahlah, rasanya kepalaku tak mampu menyimpan apapun saat ini, meski itu hanya sebaris kata saja.
"Wendy,"
Aku dengar kata itu, tapi entah kenapa kepalaku tak merespon tubuhku untuk menjawab.
Tiba-tiba, satu cubitan dilayangkan ke lenganku dan membuatku berteriak hingga memelototi gadis yang tengah menatap puas ke arah diriku. Gadis itu melipat tangannya.
"Sudah sadar, sekarang?"
Aku mendecakkan lidahku dan lanjut mengaduk minumanku serta menyeruputnya ogah-ogahan. Aku bisa mendengar helaan nafas gadis itu yang mungkin kesal karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya.
"Kau kenapa?"
Nah, pertanyaan ini. Sedari tadi, mungkin ada sekitar lima kali gadis ini bertanya dan aku enggan kunjung menjawabnya. Bukan apa-apa, aku hanya tak tahu ingin menjawab apa.
"Aku enggak tahu mau jawab apa, Yu," ujarku jujur.
Gadis ini diam sejenak. Ia menurunkan tangannya lalu melipatnya di atas meja, memberiku atensi penuh. Aku hanya meliriknya.
"Sejam yang lalu, kau tiba-tiba mengirimiku pesan yang membuatku harus membolos setengah mata kuliahku," mulai Daiyu, "Jadi cepat jawab pertanyaanku agar perjuanganku tak sia-sia,"
Oke, mari kita jujur. Aku tak tahu bahwa satu kalimat itu mampu membuatnya membolos.
"Kau bolos?" tanyaku yang hanya dijawab oleh erangan Daiyu.
"Nawendy, abaikan saja kata-kataku tadi dan fokuslah menjawab pertanyaanku!" jawab Daiyu kesal. Ia menarik nafas, "Ada apa dengan pesan 'Aku ingin menangis' itu?"
Aku meneguk salivaku. Kubasahi bibir sejenak sebelum menggeser minumanku. Aku menggaruk keningku sebelum menatap gadis itu.
"Hari pertamaku ... agak sedikit kacau, mungkin,"
"Kacau kenapa?" tanya Daiyu langsung.
Aku menarik nafas. "Kau tahulah bahwa aku sedikit berbeda dari mahasiswa yang lain. Maksudku bukan fisikku, hanya saja ... ya, kau tahulah ..." Aku menatap Daiyu, "Hijabku,"
Daiyu tak bereaksi apapun, dia diam sejenak, lalu menarik cangkir macchiato hangatnya dan menyeruput sedikit isinya. Kemudian barulah gadis itu memberikan atensinya untukku.
"Aku sudah yakin kau akan mengalami ini," mulainya yang membuatku sedikit terkejut. "Sebagian permasalahan memang bukan pada fisik, ya walaupun ada sih, sebagian yang mengalaminya, tapi yang paling sering terjadi adalah ketika mereka mulai tahu apa ciri khasmu,"
Aku paham apa maksud Daiyu jadi aku mengangguk, "Agamaku,"
Daiyu balas mengangguk. "Di negara yang mana kita menjadi minoritas, hal ini memang sering terjadi, bahkan sebagian orang sudah bisa menebaknya. Apalagi di negara sosialis seperti ini, yang mana agama bukanlah suatu hal yang penting,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wa'alaikumsalam, Beijing
General FictionKalau ada 'Assalamualaikum, Beijing', maka di sini ada 'Wa'alaikumsalam, Beijing'