Kenapa sih, ditanyain mulu? Yang denger aja bosan, masa yang nanya enggak?
😃
12.04Mataku menyipit menatap jam analog yang tengah berdetak itu lalu sedikit mengangguk kecil saat menyadari waktu yang tertera di sana. Apel yang sedari tadi kukunyah akhirnya tandas juga, meninggalkan bijinya dan beberapa bagian yang tak termakan olehku.
Tiba-tiba, bunyi ponsel menginterupsi kegiatanku yang tengah berfokus pada televisi layar datar di depanku. Aku melirik ke dalam kamar dan mendapati layar ponselku menyala. Siapa yang SMS? Tumben-tumbennya.
Beranjak dari duduk, aku langsung meraih ponselku dan menatap nama pengirim di sana. Tak sampai sedetik mataku membaca nama pengirimnya, aku langsung meletakkan kembali ponselku tanpa minat membaca isinya.
Biasa, dari operator.
Pantas, mana mungkin ada yang mau mengirimiku pesan di kala suasana saat ini. Maksudku, di saat semua teman-temanku sibuk dan tak punya kesempatan berbasa-basi. Hanya operator yang selalu menghiasi kotak inbox- ku. Tapi bagaimanapun juga, aku harus menghargai usahanya untuk menemani diriku ini.
Hhh... efek jones emang gini.
Baru hendak melanjutkan tontonanku yang tadi kutinggal, dengan langkah terburu-buru, adikku langsung menghampiriku yang membuatku sedikit terkejut.
"Kenapa, sih? Kayak habis nengok hantu," kataku asal.
"Kak, tengok, nih!"
Aku menatap ponsel yang ia sodorkan lalu terpana di detik selanjutnya saat membaca headline.
"Eh, seriusan EXO mau konser lagi?!"
Adikku mengangguk semangat. "Iya, nonton yok, Kak!"
Anak ini... minta nonton konser seolah-seolah tempatnya cuma di belakang rumah.
"Ini di Korea, woi! Korea!"
"Ya emang kenapa? Kakak kan, udah punya uang."
Gampang sekali dia ngomong.
"Ga, ah. Dipikirnya uang itu buat dihambur-hamburkan? Aku masih ada keperluan lagi, tahu!"
"Ih... uang berpuluh juta itu buat apa? Katanya dulu kalau ada uang mau ngajak Adek nonton EXO. Tiba ada uang malah enggak mau dipakai."
"Ya kan, Adek ada uang juga, sih. Emang entar habis nanton mau langsung pulang? Emang enggak butuh nginap? Makan?"
"Pelit kali, sih!"
Setelah mengatakannya dia langsung pergi.
Ah, bomatlah. Toh, dia juga udah kerja dan aku yakin gajinya selama ini udah cukup buat dia pergi ke sana.
Tiba-tiba aku merasa bosan. Film yang barusan kutonton adalah film di zaman aku masih umur tujuh belas tahun. Tepatnya delapan tahun yang lalu. Walau sudah lama, aku masih tetap ingat dengan jalan ceritanya.
Aku mengangkat tubuhku bangkit lalu berjalan masuk ke kamar. Niatnya mau baca novel yang baru kubeli, saat tiba-tiba mataku menangkap buku bersampul coklat dengan tulisan journey di atasnya. Aku meraihnya lalu mendengus saat membaca halaman terakhir.
Curahan hatiku yang menulis ulang sejarah masa terakhir SMA.
Aku tak tahu apa yang mendorongku untuk menggoreskan tinta dan menjabarkan masa laluku itu. Aah... mungkin ini efek dari nonton Mamah Dedeh.
Iya, kemarin secara tak sengaja, aku keputar channel yang menayangkan acara Mamah Dedeh yang masih aja awet walaupun tahun terus berjalan. Niat awalnya mau nonton channel thrill, tapi tiba-tiba nge-stuck di channel ikan lele terbang (?) itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Wa'alaikumsalam, Beijing
Fiksi UmumKalau ada 'Assalamualaikum, Beijing', maka di sini ada 'Wa'alaikumsalam, Beijing'