Jangan tanya aku kenapa memilih ini. Mungkinkah ini takdir?
😊
"Jadi gitu, Mak. Masih lama sih, keputusannya. Tapi Adek benar-benar berharap."
Aku mengangkat pandanganku yang sedari tadi fokus pada ikan bandeng asam pedas di piringku. Perkataan adekku sedikit menarik minatku.
"Banyak berdoa. Pintar kalau enggak berdoa sama aja bohong," kata bapakku sambil tetap melahap nasinya.
"Masalah exchange employee itu, ya?" tanyaku yang dijawab anggukan Adek.
"Adek berharap banget, sih. Tapi ya enggak tahu gimana kata yang di atas."
"Minta kemudahan sama Allah makanya," sahut Mamak yang lagi-lagi dibalas anggukan Adek.
Tiba-tiba, bunyi ponselku menghentikan aktifitas obrolan kami. Hanya sejenak karena selanjutnya tiga orang lainnya kembali membuka obrolan, mengabaikanku yang mulai membaca pesan.
Keningku berkerut saat membacanya. Kerutannya semakin dalam sampai aku membaca kalimat terakhir. Berkali-kali aku membaca ulang supaya tak ada yang salah lihat, tapi tetap saja kata-kata itu yang kubaca. Aku tak salah lihat.
"Mak," panggilku.
"Kenapa?" tanya Mamak. Bapak dan Adek bahkan sudah menatapku.
"Kakak lolos,"
Hening. Tak ada yang berekspresi. Detik kemudian, adekku sudah bersorak. Mamak dan Bapak hanya menatapku bingung.
"Lolos? Lolos apa?" tanya Mamak.
Aku dan Adek berpandangan. Ah... aku belum memberitahu mereka ternyata apa yang sudah kulakukan belakangan ini. Ya, aku juga ragu sebenarnya, makanya aku tak memberitahu mereka. Hanya adekku yang tahu. Jadi kurasa... ini saatnya aku bilang pada mereka.
"Kakak dapat beasiswa S2,"
Mamak dan Bapak sudah berhenti makan. Atensi mereka sepenuhnya padaku.
"Alhamdulillah, Ya Allah... kapan Wendy ngurus?"
"Udah lama, sih. Sejak masih di Yogya. Itupun dibantu sama Tita. Dan barusan Tita SMS. Bilang kalau Kakak lolos beasiswanya. Beasiswa full, lagi."
"Alhamdulillah... di mana?"
Aku diam. Adek juga diam. Aku menatapnya, mencoba mencari tahu apa yang sebaiknya kukatakan. Tapi Adek hanya menatapku dengan pandangan matanya yang seolah mengatakan bahwa aku harus mengatakannya. Karena ini adalah kabar bahagia.
"Di... Beijing."
Hening kembali mengambil alih. Mamak dan Bapak tak bicara beberapa saat.
"Kenapa Beijing? Katanya mau ke Korea," kata Mamak.
"Adek juga enggak tahu kenapa Kakak malah ngambil Cina. Padahal dari dulu ngebet banget pergi ke Korea."
"Kakak juga... enggak tahu, sih. Pas waktu itu lagi iseng nyari beasiswa S2. Kebetulan kebuka tentang beasiswa pemerintah Cina. Kakak coba-coba sih, sebenarnya. Tita juga bantuin Kakak beresin berkasnya, terutama saat harus menerjemahkan semuanya ke dalam bahasa Inggris sama Cina," jelasku. "Jadi gimana, Mak, Pak? Kakak boleh ambil?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Wa'alaikumsalam, Beijing
General FictionKalau ada 'Assalamualaikum, Beijing', maka di sini ada 'Wa'alaikumsalam, Beijing'