270 23 0
                                    

Kutak bisa berkata lagi.


😃


"Hahahaha...."

Aku memberengut menatap Daiyu yang puas tertawa sambil memegangi perutnya. Ia bahkan sudah tergeletak lemas karena tertawa di lantai kamarku.

Aku memukul kakinya sambil menatapnya kesal. "Jangan ketawa kayak gitu, ah!"

Daiyu bangkit, berusaha meredam tawanya karena melihat wajahku. Ia masih tersengal karena kehabisan nafas. Siapa suruh ketawa sengakak-ngakaknya?!

"Kamu lucu, sih. Siapa suruh ke toko obat tradisional? Biar aman kenapa enggak ke apotek langsung, sih? Jadinya kan, hahaha, sorry, kamu kesusahan sendiri."

"Ya mana aku tahu kalau jadinya begitu? Sudah, ah. Mendengar suara tawamu malah membuatku makin sakit kepala."

Daiyu terkekeh. "Maaf. Tapi kamu udah minum obatnya, kan?"

Aku hanya mengangguk sambil memijat pelipisku sekilas. Ini rasa sakitnya kenapa enggak pergi-pergi, sih?

"Wen, masih sakit?" tanya Daiyu khawatir.

Aku mengangguk pelan. "Obatnya baru aku minum dua kali, kan? Mungkin efeknya masih belum kerasa."

"Ke dokter aja, gih. Besok aku antar, deh."

"Kamu bukannya ada perlu besok, ya?"

Tersadar akan sesuatu, Daiyu lantas menepuk keningnya. "Duh, gimana, nih? Besok kerjaan aku penting..."

Aku tersenyum simpul. "Enggak perlu diantar juga enggak apa, kok. Aku bisa sendiri."

"Nanti kalau nyasar gimana?"

Aku terkekeh. "Enggak, kok."

Daiyu menggeleng. "Enggak semua supir taxi bisa bahasa Inggris, Wen. Kalau mereka salah tangkap tujuanmu gimana? Nanti kamu malah dibawa ke tempat lain lagi."

Aku mengibaskan tanganku, berusaha menghentikan Daiyu yang melalang buana dengan pikirannya, walau aku juga takut kalau pemikirannya bakal terjadi. "Kan ada google. Ntar aku tinggal ngomong dalam bahasa Inggris terus diterjemahin ke bahasa Mandarin. Gampang, kan?"

Daiyu menatapku sangsi. Aku sendiri menyangsikan diriku. "Yakin?"

Aku mengangguk. "Yakin. Kamu urus urusanmu sampai kelar. Aku cuma ke rumah sakit aja, kok."

Daiyu menghela nafas lantas mengangguk walau masih tampak ragu. Aku tahu dia khawatir karena Beijing itu luas dan aku adalah orang yang buta daerah juga bahasanya.

"Kenapa sih, enggak kursus bahasa Mandarin dulu sebelum berangkat? Jadi repot pas di sini, kan?"

Aku meringis. "Aku kan, coba-coba buat beasiswanya, walau repot ngurus semuanya bahkan sampai tes IELTS."

"Coba-coba, ya..."

"Ah, bukan gitu maksudku. Aku..." Mataku melirik Daiyu yang menaikkan alisnya tinggi-tinggi. "Ah! Arasseo arasseo. Aku memang salah karena menganggap bisa bahasa Inggris bakalan survive di sini!"

Wa'alaikumsalam, BeijingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang