Kupikir ini adalah awal takdir baruku.
😊
"Sebentar lagi ya, Wen?"
Aku mengangkat wajahku dari koper-koper yang tengah kuperiksa lalu menatap wajah Mamak yang tadi bicara. Mendengarnya, aku lantas mengulum senyum.
"Iya, Mak. Sepertinya begitu."
Mamak mengangguk, lalu mengalihkan tatapannya ke papan pengumuman keberangkatan maupun kedatangan pesawat. "Semoga enggak delay, ya."
Aku balas mengangguk. "Amin, Mak."
Mamak tersenyum simpul. "Lagi-lagi Mamak harus mengantarkan Wendy lagi, ya. Kali ini bahkan lebih lama."
Aku terdiam, tapi kemudian lantas tersenyum. Aku masih belum mampu bicara sejak Mamak mengatakan hal tadi. Sesuatu seperti menyangkut di tenggorokanku, mencegahku mengeluarkan suara, mencekatku. Aku tahu bahwa tangisku akan meledak jikalau aku berbicara. Maka dari itu, aku menahannya, supaya pertahanan diriku tak jebol.
Aku sedikit berdeham. "Semoga Wendy enggak kesulitan belajar di sana, Mak. Biar cepat pulang."
Mamak mengangguk. "Iya, belajar yang benar."
"Jangan main-main," kata Bapak yang kali ini ikut mengantarku pergi.
Aku mengangguk yakin. "Wendy akan belajar, kok."
"Nah, Wen,"
Aku menoleh ke kanan lalu mendapati Tita yang nyengir. Jika ekspresi wajahnya begini, aku tahu dia mau ngapain.
"Apa? Oleh-oleh? Belum lagi pergi, udah ditodong oleh-oleh," serbuku sebelum ia sempat bicara.
"Wah... Wendy emang pengertian banget, deh. Kalau gitu jangan lupa, ya!"
Aku menghela nafas. "Dari kemarin kamu udah bilang, loh."
"Ya, biar enggak lupa. Biar enggak kayak Zhang Yixing," jawabnya asal.
"YAK!!!" teriakku dengan mata melotot. Beberapa orang di sekitarku bahkan melirik-lirik ke arahku walau tak kupedulikan. Adekku yang sedari tadi tampak memotret bandara sekaligus ber- selfie ria langsung beringsut menjauhiku. Kata-kata 'pura-pura enggak kenal' langsung menyergap telingaku, membuatku menoleh galak padanya yang sudah agak menjauh.
"Ngapain teriak, Wendy?" tegur Bapakku.
"Tita, nih! Ngomongnya asal jeplak. Calon suamiku, tuh!"
Tita tertawa senang. "Amin, dah, Wen. Kalau kamu senang, yang senang juga aku."
Aku menggelengkan kepala sambil sedikit menghela nafas. Aku memang harus bersabar. Kalau bukan karena Tita yang membantuku mengurusi masalah pendaftaran, beasiswa, sampai visa, aku mungkin tak akan ada di sini.
Ngomong-ngomong soal Tita, dia juga ikut menjemputku. Dia baru datang kemarin pagi dari Yogya. Aku awalnya melarangnya ikut karena biaya pesawat yang enggak sedikit, ditambah pekerjaannya yang menumpuk di sana. Tapi dasar Tita bandel, mana mempan dia dinasihati. Katanya dia mau liburan sejenak karena udah lama enggak main ke Batam.
Aku mengedarkan pandanganku ke segala penjuru Bandara Changi. Ya, kami memang sedang ada di Singapura. Walau sebenarnya aku bisa saja berangkat langsung dari Batam, namun transit dua kali, yaitu di Jakarta dan Kuala Lumpur, membuatku urung melakukannya. Jadilah kami di sini, di Bandara Changi, menunggu keberangkatanku yang tinggal hitungan menit lagi.
Selama tinggal di Batam, jujur, aku belum pernah melancong ke Singapura, walau Singapura itu tetangga dekatnya Batam. Pekerjaan yang banyak di Yogya, serta diriku yang lebih memilih di rumah jika ada di Batam, membuatku belum pernah menapakkan kakiku di tanah Macan Asia ini. Lain dengan adekku yang sudah pernah ke sini sekali karena ada konser EXO. Saat itu aku memang tak ikut karena masih di Yogya. Lagipula, aku sudah bertekad akan menonton EXO langsung di negara asalnya.
Mataku berkali-kali tak puas melahap habis keindahan desain dan interior bandara ini. Kata-kata pujian sedari tadi keluar dari mulutku.
Tiba-tiba, bunyi interkom berbahasa Inggris memenuhi seluruh pelosok bandara. Pengumuman keberangkatanku.
"Nah, itu pesawat Kakak. Kakak pamit dulu, ya!"
Aku langsung mencium tangan kedua orang tuaku lalu balas memeluk mereka. Kata-kata bijak serta nasihat langsung dilontarkan mereka dan kucatat dalam hati. Aku juga memeluk Adek yang matanya tampak berkaca-kaca, juga Tita yang hanya tersenyum padaku.
Aku menarik koperku, melambaikan tangan pada mereka. Mereka balas melambai, bahkan Adek dan Tita sudah berseru heboh di sana, meneriakkan kata-kata semangat.
Aku terkekeh kecil saat melihat aksi mereka. Setengah mati berusaha untuk tertawa dan tak menangis. Aku menghela nafas sejenak sebelum kembali menarik nafas panjang.
Dua tahun. Dua tahun aku tak akan melihat mereka.
Kalau dulu, meski waktu kuliahku lebih lama, tapi setidaknya aku bisa pulang tiap tahun juga menelepon mereka. Dulu aku selalu bisa berlebaran bersama mereka. Mungkin dua kali lebaran ini, aku harus puas hanya bisa merayakannya sendiri.
Karena semua ini tak lagi simple. Aku sudah pergi ke negara yang berbeda dengan mereka. Hal-hal yang biasanya kulakukan saat bersama mereka meski jauh, sepertinya tak akan terjadi dalam dua tahun ke depan.
Ah, hanya dua tahun.
Aku harus bisa melewatinya.
Aku menyerahkan tiket, KTP, dan juga visaku pada petugas yang memeriksa kelengkapan kami. Saat selesai, aku menoleh ke belakang. Mereka masih di sana, masih berteriak heboh dan melambaikan tangan kencang-kencang. Aku tersenyum kecil, balas melambai lalu segera masuk.
Hingga keempat orang itu tak terlihat lagi oleh mataku.
Bahkan untuk dua tahun ke depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wa'alaikumsalam, Beijing
General FictionKalau ada 'Assalamualaikum, Beijing', maka di sini ada 'Wa'alaikumsalam, Beijing'