Shí

487 30 2
                                    

Apa Islam seperti itu di mata mereka?




😃




Allahuakbar Allahuakbar

Aku tersentak bangun saat mendengar nada indah yang mengalun dari sebelahku. Aku meraih benda persegi di samping kepalaku lalu mengecek jam yang tertera di sana--jam 03:24--membiarkan alunan indah itu menggema sampai selesai. Ya, biarkanlah begini dulu karena aku rindu dengan alunan yang sesungguhnya.

Setelah bunyi itu selesai, aku lantas bangkit dan beranjak ke kamar mandi. Membiarkan air dingin itu menerpa wajahku hingga rasa kantukku hilang tak berbekas. Aku meraih handuk biru kecilku yang selalu tergantung di kamar mandi dan mulai mengeringkan wajahku. Setelah selesai, aku langsung kembali ke kamar dan mulai menjalani salat subuh untuk hari pertamaku belajar di universitas luar biasa itu.

🏯

Aku menatap pantulan diriku di depan cermin sambil membenarkan letak khimarku yang agak miring. Setelah pas, aku mengangguk puas dan menyambar tas ransel kecilku. Kulirik jam tangan hitam yang ada di tangan kiriku. Jam 06:22. Oke, kurasa aku harus cepat kalau tak ingin terlambat dan dihukum dosen. Demi apa mahasiswa S2 dihukum dosen karena telat?

Ah, sebentar. Kurasa aku ketinggalan sesuatu.

Apa kalian sedikit bingung dengan jam subuh tadi? Hahaha, aku juga kaget saat pertama kali menyetel waktu salat untuk daerah Beijing. Iya kali jam subuhnya setengah empat sedangkan matahari terbit jam lima? Waw, yang mau ngaret salat kayaknya bisa tuh, lama sampai satu setengah jam.

Jangan ya, ngaret salat sama saja kayak melempar diri ke neraka Jahanam.

Ya walaupun begitu, aku tidak terlalu repot sih, dengan jam subuh yang sangat berbeda jauh dengan waktu di Indonesia. Aku memang sudah biasa menyiapkan segala keperluanku di pagi hari dari mulai jam segitu. Jadi itu sama sekali bukan masalah besar.

Yang buat aku syok adalah waktu maghribnya yang jam setengah delapan malam. Bayangkan! Kalau aku puasa di Beijing, berapa lama aku harus menahan lapar?

Apa perlu pas puasa aku balik ke Indonesia?

Kayak aku orang kaya aja.

Ya tapi doakan saja aku bisa pulang setiap lebaran, kalau bisa tiap liburan, soalnya aku sudah kangen berat dengan keluargaku. Ckckck, di umurku yang 25 tahun ini, aku masih mengalami homesick.

Aku melongok ke samping dan menatap pintu kamar Daiyu yang masih tertutup dengan damai. Hhh... apa anak itu kelelahan? Soalnya aku baru mendengar pintu itu terbuka sekitar jam satu dini hari. Ya, dia sudah mulai kuliah jauh sebelum aku memulainya. Dan sebagai orang yang masih bisa dicap maba, aku tahu bahwa dosennya saat ini sedang garang-garangnya memberi tugas.

Padahal aku ingin pamit pergi.

Tapi ya sudahlah, biarkan saja dia istirahat.

Tanpa membuang waktu lagi, aku langsung pergi ke bawah dan menyapa Nyonya Jiao yang sudah siap di balik mejanya. Aku lantas mengeluarkan sepedaku dan mulai mengayuh menuju universitas baruku, sekitar 2 km dari rumahku.

🏯

Kesan pertama aku di kelas baruku:

Kelas ini dingin sumpah.

Wa'alaikumsalam, BeijingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang