Sejak Dulu

9.7K 780 58
                                    

Mai menghela napas panjang, astaghfirullah.

Ditenangkan hatinya, tarik napas, keluarkan. Tarik.., keluarkan..

Ditatap lagi ponsel yang masih menampilkan kata-kata yang membuat hatinya sakit. Akhirnya dia mengalah dan menutup aplikasi di ponselnya.

Sudah dua bulan sejak Mai memberanikan diri untuk mengisi majelis taklim ibu-ibu di beberapa masjid besar di Jakarta, tentu saja kegiatannya tidak luput dari perhatian media. Ini semua karena dia adalah istri seorang Ustadz Salahudin, sehingga setiap kegiatannya menjadi pusat perhatian.

Bukan tanpa alasan Mai memberanikan diri untuk keluar dari zona nyamannya. Kalau bisa memilih, dia lebih suka mengurus Rumah Qur'an dan mengisi majelis taklim di masjid kompleknya saja. Allah subhanahuwata'ala tidak melihat besar kecilnya skala peserta kajian, tapi keikhlasan kita dalam melaksanakannya.

Bisa saja kita sering mengisi kajian di luar dengan peserta ribuan orang, tapi tidak bernilai di mata Allah subhanahuwata'ala hanya karena niat kita dalam melakukannya bukan karena-Nya, tapi karena mengharap pujian manusia.

Sedangkan, bisa saja, kita hanya mengajar di TPA di rumah, tapi Allah subhanahuwata'ala catat sebagai amal kebaikan, karena niat kita ikhlas karena-Nya.

"Assalamu'alaykum."

"Wa'alaykumussalam."

"Sudah selesai kajian dhuhanya?" Mai bangkit menyambut suaminya yang baru pulang dari mengisi kajian di masjid rumah Qur'an.

"Alhamdulillah. Kok kusut?" Al menyambut uluran tangan istrinya, di cium kening dan bibir Mai, rasanya tidak akan pernah bosan dia melakukannya.

Mai tidak menjawab, malah memeluk suaminya erat.

Al tidak tahu ada apa dengan istrinya hari ini, perasaan tadi pagi Mai baik-baik saja saat ditinggalkannya untuk mengisi kajian.

Al balas memeluk istrinya erat, dibelai punggung Mai untuk menenangkan apapun yang tengah mengganggu pikiran istrinya.

Dicium puncak kepala istrinya, "wanna talk about it?"

Mai menggeleng di dadanya, kemudian mengangguk.

Al tersenyum simpul, istrinya luar biasa.

Mai mengurai pelukannya, matanya sedikit berkaca.

"Hei, what's wrong?" Al tidak suka saat melihat istrinya bersedih.

Melihat istrinya tidak bereaksi, Al membawanya ke sofa ruang tivi. Mereka duduk bersisian, Mai merebahkan kepala di bahu suaminya.

"Habis ini ke Andalusia?" tanya Mai.

"Iya, mau ketemu pak Reza sama da Andy, kenapa? Mau ikut?" Al menggenggam tangan istrinya erat.

Mai menggeleng, "ada taklim." Entah kenapa rasanya malas sekali untuk pergi mengisi taklim kali ini.

"Di mana?"

"Sunda Kelapa."

"Sunda Kelapa?"

"Iya, kenapa?" Mai menegakkan kepala dan menatap suaminya.

"Nggak, cuma inget saat Allah mempertemukan kita kembali di sana." Goda suaminya.

"Ihh.." Mai mencubit pinggang Al gemas.

"Rasanya seperti mimpi menemukan kamu di sana hari itu. Dari sekian ratus masjid di Jakarta, kamu memilih untuk datang ke sana, sepertinya memang kamu khusus di hantar untuk menemuiku saat itu."

And The Story GoesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang