19 | Ritual Alas Mawut (II)

49 6 1
                                    

Sbshjdlanvahsudbdnmalaoshdbdm

Suara bisikan aneh dan tidak jelas terdengar di hutan itu. Suara itu seakan mengelilingi mereka. Berjalan bagai angin yang berhembus kencang.

Ajan Lamduan berputar, mencoba menemukan sosok yang membuat suara itu. Menelusuri setiap sudut yang bisa di jangkau indra penglihatan. Tetapi tidak ada sosok apapun yang menampakkan diri.

Kemudian Ajan Lamduan mengisyaratkan keenam remaja itu untuk kembali berjalan dan mengabaikan suara aneh itu. Mereka berjalan dengan perasaan was-was dan rasa takut. Setiap langkah menuju lebih dalam, suasana semakin gelap dan mencekam. Mereka bagaikan memasuki bagian lautan terdalam.

Tiba-tiba Ajan Lamduan berhenti. Keenam remaja itu menubruk satu sama lain dan hampir saja mengenai Ajan Lamduan. Untung saja Siana yang berada di depan mampu menahan dorongan teman-temannya sehingga ia tidak menyentuh punggung Ajan Lamduan.

"Kita sudah sampai," ucap Ajan Lamduan.

Ketika itu juga mereka bisa melihat sebuah lapangan luas berbentuk segi empat di depan mereka yang tertutupi dedaunan kering serta pepohonan tinggi yang mengelilinginya.

"Kalian duduklah di keempat sudut lapangan ini. Namun dua di antaranya saling bersebrangan di sisi kanan dan kiri." kata Ajan Lamduan. "Kalian mengerti?" Tanya beliau.

"Iya, mengerti." Jawab mereka.

Sungguh. Ini bukanlah formasi yang nyaman. Lapangan ini sangat luas dan jarak di antara satu sudut dengan sudut lainnya adalah sekitar sepuluh meter.

Keringat dingin membanjiri tubuh mereka tatkala berjalan memasuki area lapangan tersebut. Satu per satu dari mereka duduk di tempat yang sudah di tentukan. Sedangkan Ajan Lamduan duduk di tengah-tengah.

"Pasang penutup mata kalian dan arahkan cermin itu ke arah Saya," Ajan Lamduan memberi instruksi.

Mereka mulai menutup mata dan mengarahkan cermin itu ke arah Ajan Lamduan. Sedetik kemudian mereka mulai mencium bau dupa dan wewangian lainnya. Ajan Lamduan kembali menyanyikan tembang.

Ojo tangi nggonmu guling...
Awas jo ngetoro...
Aku lagi bang wingo wingo...
Jin setan kang tak utusi...
Dadyo sebarang...
Wojo lelayu sebet...

Namun kali ini beliau menyanyikannya dengan santai dan lembut. Nyanyian itu terdengar seperti sebuah nina bobo. Beberap menit kemudian, cermin keenam remaja itu bergetar, membuat mereka terkejut dan hampir saja melepaskannya.

Ajan Lamduan menoleh ke arah cermin mereka. Beliau menduga jika sosok yang di panggil telah datang dan berada di salah satu cermin keenam remaja tersebut. Kemudian beliau bangkit dan berjalan sambil membawa wadah dupa. Beliau memulainya dari Jonathan yang berada di sudut pertama.

Di arahkannya wadah dupa itu di depan cermin. Terlihat sosok genderuwo hitam yang menyeramkan. Namun Ajan Lamduan melewatinya saja dan beralih menuju Abel, yang berada di sisi kanan lapangan. Di cermin Abel menampilkan sosok kuntilanak dengan rambut panjang menutupi sebagian wajahnya yang rusak. Lagi, beliau hanya melewatinya saja dan beralih menuju Xena yang ada di sudut kedua.

"Monique..." Ajan Lamduan menyebut nama itu. Berharap bisa menemukan sosoknya di dalam cermin. "Pasti ada ssosoknya di antara mereka semua," gumam beliau.

Namun sosok yang ada di cermin Xena bukan Monique. Melainkan seorang kakek tua dengan wajah busuk dan mata yang keluar. Beliau kembali menghiraukannya dan beralih ke Siana yang ada di sudut ketiga. Tapi lagi-lagi bukanlah sosok Monique di dalam cermin Siana.

Beliau terus menyusuri cermin-cermin yang di pegang keenam remaja tersebut. Hingga pada sisi kiri giliran Andro, sosok Monique tidak ada. Hanya sisa satu cermin. Dan itu adalah harapan terakhir bagi Ajan Lamduan.

MONIQUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang