Malam berganti malam...
Hari berganti hari...
Minggu berganti Minggu...Arman dan Ratih sudah banyak mengalami perubahan. Mereka dengan perlahan melunasi utang - utang mereka pada para tetangga. Perlahan namun pasti, mereka kembali membangun hidup yang selama ini gagal dan penuh derita.
Disuatu pagi, beberapa waktu setelah Arman dan Ratih memelihara tuyul di desa Rawa Senang.
Nampak ibu - ibu warga desa sedang bergerombol berbelanja bersama di warung Bu Sonah.
Satu - satunya warung tempat berbelanja terlengkap di desa Rawa Senang. Maklum, desa Rawa Senang belum memiliki pasar. Hanya beberapa warung kecil seadanya yang tersedia.Warung Bu Sonah berdiri tegak kokoh beralas tanah, tiangnya dari balok kayu terlihat masih kuat menahan angin dan hujan. Beberapa kursi panjang menghiasi halaman depannya tempat melepas lelah tamu - tamunya. Pohon Ketapang yang besar dan rindang membuat warung itu teduh dari sinar matahari. Walaupun akibatnya, setiap pagi Bu Sonah harus rajin menyapu daun Ketapang yang berjatuhan.
Warung Bu Sonah hanya sederhana, tanpa cat, tanpa hiasan, namun menyediakan hampir semua keperluan rumah tangga. Ada beras, gula, minyak, kecap, bumbu dapur, cabe dan banyak lainnya.
Dan yang paling penting dari itu semua, Bu Sonah orang yang sangat baik hati. Perempuan gemuk pendek berambut sebahu, istri Haji Badrun ini mengizinkan warga desa Rawa Senang untuk berhutang diwarungnya tanpa bunga tambahan.
Haji Badrun sendiri setiap hari sangat rajin berbelanja ke kota terdekat menggunakan Tossa tua miliknya. Dengan peci dikepala, ketika pagi menjelang, dia sudah berangkat berbelanja. Ketika hari telah siang dia pulang membawa perlengkapan untuk mengisi warungnya.
Nampak Bu Sonah pagi itu mengenakan daster biru, sedang sibuk melayani para pembeli. Haji Badrun suaminya baru saja pergi berbelanja di kota. Bu Sonah berdiri menghadapi ibu - ibu dihadapannya. Nampak kipas angin tua selalu berputar pelan di belakangnya. Menemaninya, mengusir hawa panas terutama saat siang hari tiba.
Sebuah buku tua kumal, tanpa sampul dan bolpoint hitam terlihat ditangannya. Bu Sonah mencatat dengan cekatan semua utang para warga. Kejujuran masih terjaga dengan baik di desa Rawa Senang. Semua warga desa masih memiliki rasa percaya satu sama lain.
"Bu Sonah, saya ambil beras ini 5 liter. Berapa harganya Bu?"nampak wanita setengah baya agak kurus menawar beras.
"Oh, yang itu murah Bu Sartika, 5 liternya hanya 35 ribu rupiah"
"Bole saya bawa dulu Bu, Minggu depan suami saya gajian, nanti kami lunasi"
"Oh, iya tidak apa - apa. Saya catat ya Bu Sartika" Bu Sonah lalu menakar beras untuk Bu Sartika dan menulis dibuku catatannya.
Nampak hiruk pikuk tawar menawar terus berlanjut di warung itu. Ada yang berhutang, ada yang melunasi hutang, ada yang langsung membayar.
Dari kejauhan nampak Ratih mengenakan daster putih bermotif bunga mendekati warung Bu Sonah.
"Selamat pagi Bu Sonah"
"Oh, nak Ratih. Bagaimana kabar suaminya? Katanya sudah dapat pekerjaan baru ya di kota?"
"Oh iya Bu, syukur Bang Arman sudah dapat pekerjaan baru di kota Bu "
"Iya nih Ratih, suamimu setiap pagi kami lihat berpakaian rapi bekerja. Dengan kemeja dan dasi, sepatu mengkilap dan tas kantoran di tangannya. Sekarang bahkan sudah naik motor baru" wanita di samping Ratih ikut nimbrung pembicaraan.
"Ah Bu Caca bisa saja, itu kendaraan kantor Bu. Bang Arman hanya mendapat ijin menggunakannya" Ratih berbohong untuk menghindari kecurigaan warga. Motor itu mereka beli tunai dengan penghasilan si tuyul untuk keperluan Arman ke kota.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuyul ( COMPLETED )
HorrorBuat kalian yang suka cerita horror (murni horror), gak pake embel - embel 18+ atau 21+... Baca aja siapa tau anda suka, jangan lupa bintangnya !!! Bercerita tentang sepasang suami istri yang sudah bosan menjadi miskin tak punya apa - apa. Sayangnya...