Part 9

115 14 0
                                    

Hari ini Smaga bebas, bebas dalam hal ini adalah semua guru ada rapat namun siswa tidak diperbolehkan pulang.

Karena bosan tidak ada kegiatan, silla memutuskan untuk menenggelamkan pikirannya dalam setumpuk buku.

Perpustakaan merupakan salah satu tempat favorit Silla, aroma buku yang khas seolah menjadi penenang baginya tatkala dia butuh penenang.

Problem bagi Silla dan seluruh manusia bertubuh minimalisir adalah saat-saat seperti ini, ingin mengambil buku susah tidak mengambil tapi ingin.

Hampir saja Silla putus asa, sebelum sebuah tangan besar mengambilkan buku yang hendak ia baca.

"makannya tinggi dong"

"tadinya gue mau bilang makasih, tapi berhubung lo yang tolongin gue jadi males deh bilang makasih" kata silla dengan menjulurkan lidah.

"ye.. Nia anak. Tadi lo dicariin Yadi"

"Yadi siapa lagi sih.."
"Yadirikulah"

"Apaan sih unfaedah lo" kata silla berusaha biasa saja.

Namun bagaimana lagi, rona merah di pipinya tidak seolah berkhianat kepada Silla

"Ciee.. Ini kenapa pipinya merah hah?" jawab willi sambil mencubit keras pipi Silla.

"Wil, udah sana jauh-jauh lo sama gue"

"Gue ilang bingung juga lo"

Silla memilih tidak menangapi ucapan Willi, ya untuk sekarang novel lebih menggiurkan dibanding mendengar jokes willi yang ubnormal itu.

Sebenarnya itu hanya alibi bagi silla, karena sungguh sekeras apapun Ia mencoba berkonsentrasi, keberadaan Willi disampingnya sukses membuat fokus jantung dan pikiran sila kacau.

Sedangkan Willi kembali teringat tentang perkataan sepupunya.

"Ya lo itu gimana sih, kapten futsal tapi lemah sama cewek. Tunjukin lah lo itu suka sama dia, jangan diem-diem aja. Syukur kalo dia peka, kalo nggak? Mampus lo makan ati terus"

Silla yang heran melihat Willi mengacak-acak rambutnya sendiri menjadi waspada. Bisa jadi Willi kesurupan atau enggak ini tanda-tanda kewarasan willi sudah jauh dari garis normal?

Gak-gak, ngaco lo.

"Lo ngapain wil?"

"Eh, enggak gue lagi bingung nih sil. Gue suka sama cewek udah lama banget, tapi gak tau gimana cara ngungapinnya"

Deg.

Senyum yang semula terbit itu perlahan memudar berganti dengan raut wajah pias. Salahkah jika dia merasa terganggu ketika willi menceritakan perempuan lain kepadanya?

"Ya lo gimana sih, ya tembak lah. Jadiin pacar. Heran gue, jadi selama ini lo gak berani bilang

Kenapa gak tanya gue atau yang lain sih. Pinter"

"Gimana cara gue jadiin pacar?"

"Ya apaan gitu, kasih pilihan dia nerima lo jadi pacarnya atau lo nanti terjun dari gedung gitu atau apa kek"

"Astagfirullah sil, gila lo. Ntar kalo gue disuruh terjun beneran gimana. Suka ngawur lo kalo ngomong"

"Ya mati lah, gitu aja repot"
Jawab silla, sedangkan willi heran dengan jawaban sahabatnya itu.

Memang ya, silla itu jahat sampai ke DNA-nya.

"Lo besok beliin gue mawar merah yang bagus. Gue mau nembak dia. Bantuin, lo yang bawa bunga. Ntar gue deh yang nulis suratnya"

Sungguh, willi memang laki-laki yang tidak peka. Haruskan silla menangis di hadapannya agar dia tahu bahwa silla terluka karenanya?

"iya gue usahain deh lo tenang aja"

Lagi. Silla kembali terluka bahkan oleh orang-orang yang sangat dia sayangi.

Bolehkah jika kali ini dia marah kepada takdir yang seolah mempermainkannya?

Why, So?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang