Ketiga adik Laras menyambutnya dengan sukacita, mereka bersorak saat melihat Laras membawa pulang martabak telur dan bunga mawar lagi——kali ini ia menyisakan tujuh tangkai. Masing-masing satu untuk ibunya, ketiga adiknya, kedua keponakannya, dan satu untuk dirinya sendiri.
"Dari pengagum rahasia lagi, ya? Kaisar?" goda Amelia, adiknya yang nomor satu. Ia berusia delapan belas tahun, baru saja lulus SMA, dan saat ini bekerja di Laundry dekat rumah mereka. Di antara lima bersaudara——kakak sulung mereka menitipkan kedua anaknya pada Laras, lantas menghilang begitu saja dengan kekasih barunya——Amelialah yang paling cantik dan banyak penggemarnya. Sebenarnya bisa saja Amelia bekerja di restoran sebagai waitress, tetapi Laras tidak mengizinkannya. Laras takut Amelia akan digoda om-om genit, atau playboy seperti Gary... atau pria aneh seperti Kaisar.
Laras mengangguk. "Ya, dari Kaisar. Dia bukan pengagumku, dia hanya... pria aneh." Ia mengedikkan bahunya malas, lalu berselonjor di atas tikar yang sudah lusuh.
Ibunya duduk di sampingnya, tersenyum seraya mengelus kepalanya. "Apa pria itu mengganggumu?"
Laras menggeleng. "Tidak, dia baik. Hanya... aneh."
Beberapa saat kemudian mereka telah duduk melingkar di atas tikar dengan sebakul nasi hangat, martabak, tumis terong, serta beberapa potong tempe dan tahu di tengah-tengah mereka. Mereka bersyukur dan sangat senang karena hari ini, seperti kemarin, bisa makan tiga kali sehari. Sebab biasanya mereka hanya bisa makan satu atau dua kali sehari, atau malah terpaksa berpuasa, kecuali kedua keponakan Laras tentunya. Laras lebih baik tidak makan sama sekali daripada harus membiarkan keponakannya tidak makan tiga kali sehari.
Air mata Laras hampir menitik, dan ia buru-buru menunduk untuk menyelesaikan makan malamnya.
Tuhan... apa yang harus kulakukan? Aku tidak ingin membiarkan keluargaku kelaparan terus-menerus seperti ini, tetapi aku juga tidak ingin menikah dengan pria yang tidak kucintai, apalagi jika harus bercerai nantinya dan merelakan darah dagingku sendiri jika aku kelak dikaruniai seorang anak.
"Ada yang kamu risaukan, Nak?"
Laras terkejut karena ibunya belum tidur saat ia tengah memandangi langit malam tanpa bintang dari jendela kamar kakaknya yang kini ditempati oleh kedua keponakannya.
"Ah, tidak ada, Bu. Laras cuma... tiba-tiba teringat pada Ayah," ucapnya, tidak sepenuhnya berbohong. Ia tidak ingin membuat ibunya khawatir.
Srikandi mengelus rambut panjang putrinya dengan sayang. "Ibu juga kangen almarhum ayahmu, juga Wulan. Di mana kakakmu sekarang, ya... apa dia tidak merindukan kedua buah hatinya?"
Laras merindukan almarhum ayahnya, tetapi tidak pada kakaknya. Sejak ayahnya meninggal dua tahun lalu——bertepatan dengan kaburnya Wulan——kehidupan ekonomi mereka langsung menurun drastis, anjlok. Seharusnya ada yang bekerja untuk menghidupi keluarga——ayah dan kakak sulung mereka.
Dulu sambil kuliah, Laras juga bekerja, ia berjualan kue-kue buatan ibunya. Namun, setelah kepergian dua anggota keluarganya, ia sudah tidak bisa lagi melanjutkan kuliahnya, dan uang yang dihasilkan dari hanya berjualan kue tidak mampu untuk membiayai keperluan semua anggota keluarganya.
"Melamun lagi. Yang kuat, ya, Laras, sekarang kan ada Amel yang membantu keuangan keluarga kita." Srikandi menepuk bahu putrinya.
Laras menyeka air matanya. "Seharusnya Amel bisa kuliah, Bu, bukannya malah bekerja."
"Apa boleh buat kan, tapi semoga saja Titi dan Sri bisa mengenyam pendidikan sampai kuliah... begitu juga dengan Lea dan Satrio."
Laras tidak tahu apakah semua perkataan ibunya hanya untuk menghiburnya atau memang berisi doa dan harapan wanita paruh baya itu. Bukankah hidup merupakan sebuah misteri Tuhan? Yang pasti, setiap hari Laras tidak pernah berhenti berdoa untuk kebaikan keluarganya.
Laras mengerjapkan matanya. Apakah kedatangan Gary dan Kai... adalah jawaban atas doanya selama ini? Benarkah?
🍂🍂🍂
Sore ini hujan turun begitu derasnya, membuat Laras tidak bisa mengirim bunga dengan sepedanya karena semua bunga dikirim menggunakan mobil. Jadi, ia membantu merangkai bunga pesanan.
"Laras, ada tamu."
"Tapi aku masih ada pekerjaan, Bos——"
"Tidak apa-apa." Pak Bayu berdeham. "Penggemarmu banyak juga."
Laras mengerutkan keningnya lantas pergi ke bagian depan toko. Di sana, Gary tengah berdiri bersandar pada dinding depan toko sambil mengisap rokoknya.
"Hai," sapanya. Rambut dan kemeja merah marunnya sedikit basah oleh hujan.
"Kamu lagi, Gary. Silakan pulang." Laras hendak berbalik kembali ke dalam, namun pria itu buru-buru membuang rokok dan meraih lengannya.
"Tunggu, Laras. Kumohon, tolonglah Kai. Dia... membutuhkan calon pewaris... darimu."
"Kenapa aku? Aku bukan Wonder Woman seperti yang disangkanya!" geram Laras emosi. "Cari saja wanita lain yang akan melahirkan calon pewaris kekayaannya!"
Pegangan Gary tidak mengendur. Sepasang matanya bersorot lembut saat menatap mata Laras. "Aku selalu mengagumimu sejak SMA... Laras. Saat Kai mengumumkan bahwa ia mencari calon istri... aku langsung teringat padamu. Kamu selalu berusaha lebih keras dari yang lain untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, dan aku merasa kamu sangat cocok untuk Kai. Saat mengetahui kondisimu sekarang ini, aku... aku sangat ingin membantu meringankan bebanmu. Jadi... sebaiknya kamu menerima pekerjaan yang Kai tawarkan."
Laras membalas tatapan Gary bingung.
"Tunggu, jangan salah paham. Perasaanku padamu hanya sebatas kagum, tidak lebih." Gary membuang muka sesaat sebelum kembali menatapnya. "Aku yakin kamu tidak akan rugi menikah dengan Kai. Jika kamu memang ingin mempertahankan pernikahanmu nanti... aku siap membantumu. Aku akan melakukan sebisaku."
"Tapi——"
Kini kedua tangan Gary yang dingin meremas kedua tangan Laras yang hangat karena keringat. "Percayalah padaku. Aku akan ada saat kamu membutuhkanku nanti. Pikirkan keluargamu. Pikirkan hidupmu juga. Usiamu masih muda, tidak seharusnya berhenti kuliah dan bekerja membanting tulang seperti ini."
Bibir Laras bergetar. "Aku akan memikirkannya... besok——"
"Besok Kai akan ke sini untuk mendapatkan jawaban darimu," potong Gary dengan senyum. Ia mengelus kepala Laras singkat sebelum berbalik pergi menerjang hujan menuju mobilnya yang diparkir di seberang jalan, di halaman parkir sebuah mini market.
🍂🍂🍂
Keesokan harinya, Laras menerima pekerjaan yang Kaisar tawarkan, tetapi dengan syarat sebelum menikah mereka harus menjalin hubungan terlebih dahulu selama satu bulan, seperti berpacaran, untuk saling mengenal. Namun, Kaisar yang merasa keberatan, membujuk Laras agar proses perkenalan dipersingkat menjadi satu minggu. Akhirnya Laras memutuskan dua minggu, dan tidak ingin ada penawaran lagi. Sepakat.
"Kalau begitu——" Tiba-tiba Kaisar mencium singkat bibir Laras, membuat gadis itu langsung meninju Kaisar, tapi dengan sigap pria itu menahan dengan telapak tangannya.
"Kau——!" Wajah Laras merah padam.
Kaisar tersenyum memamerkan lesung pipinya. "Kenapa? Kita kan akan segera menikah, jadi kamu harus terbiasa menerima hal-hal seperti berciuman, dan lain sebagainya." Pria itu berdeham. "Ah, tapi sebenarnya ciuman tadi sebagai hukuman karena lagi-lagi kamu menjual bunga mawar pemberianku."
Laras melangkah mundur. "Berhenti menguntitku! Itu... tidak sopan."
Kedua alis tebal Kaisar terangkat. "Baiklah, aku takkan melakukannya lagi. Kalau begitu sampai besok, kekasihku."
Setelah mobil pria itu menjauh dari pandangan, tiba-tiba Pak Bayu menghampirinya dan menyodorkannya sebuket bunga mawar putih. Laras membaca tulisan di secarik kertas kecil berwarna merah jambu: untuk Laras, dari Gary.
Jantung Laras berdegup kencang. Ia teringat akan perkataan Gary. Apa pria itu mencintainya? Atau sekadar mengaguminya seperti yang kemarin dikatakannya? Laras menghirup aroma mawar putih itu dalam-dalam sebelum meletakkannya ke dalam keranjang sepeda tuanya dengan hati-hati.
🍁🍁🍁🍁
EMERALD, 28 JUNI 2017

KAMU SEDANG MEMBACA
LARASATI
RomanceLarasati yang terpaksa bekerja keras untuk menghidupi keluarganya sejak dua tahun belakangan, tiba-tiba mendapatkan sebuah tawaran pekerjaan menggiurkan yang akan membantunya melepaskan diri dari semua beban berat yang selama ini dipikulnya. Akan te...