A/n : welcome to my new story guys^^
Jadi, sebenernya, cerita ini sebagian kuambil dari kisah nyata, tapi aku cuma sedikit memperindah supaya nggak ngenes-ngenes amat wkwk
Btw, judulnya juga ngena banget sama penulisnya:' (ini bener-bener nggak ada yg nanya, so, just abaikan;))Selamat membaca:)
💘
"Serius? Jadi lo sama si Aron udah kenal lama?" Cewek berambut hitam bercampur coklat dengan model curly itu mem-pause film yang ditontonnya lewat laptop. Dia menatap gue dengan mata membulat sempurna.
Gue ngangguk, kemudian berbaring dengan posisi telungkup di sebelah sahabat gue itu, namanya Sophia--gue panggil Sovi biar gampang.
Gue baru aja kasih tau dia tentang hubungan gue yang sebenarnya dengan Aron.
Oke, mungkin harus gue jelasin dari awal.
Singkatnya, Aron itu cowok.
Ehm, emang cowok.
Gue udah suka sama dia sejak kelas sebelas. Kenapa gue bisa suka sama dia? Faktor utamanya karena dia itu teman lama gue. Bukan teman dekat, sih, sekadar teman aja. Ngobrol pun jarang.
Terus, setelah lama nggak ketemu, kita akhirnya dipertemukan kembali di SMA, dan mungkin ini takdir--gue berharap demikian--karena gue sekelas sama dia dari kelas sepuluh, sampe sekarang, kelas duabelas.
Gue bukan pengagum rahasia yang diam-diam menyukai seorang cowok dari jauh. Bukan juga pengagum rahasia yang nggak pernah dihiraukan oleh cowok yang disukai.
Akan lebih tepat kalo gue bilang, gue mati-matian berusaha menyembunyikan perasaan gue ke dia.
Dia kenal gue, gue kenal dia. Karena seperti yang gue bilang tadi, kita sekelas.
Kita berinteraksi, kadang-kadang.
Sebenarnya, menurut penilaian diri gue sendiri, gue tipe cewek yang ceria dan cukup easy-going.
Tapi, yang namanya jatuh cinta dan memendam rasa suka terhadap seseorang, terkadang bisa mengubahmu menjadi sosok yang berbeda.
Gue juga gitu. Gue bisa jadi pemalu--sangat--kalau melakukan segala sesuatu yang menghubungkan gue sama dia. Gue jadi kaku.
Dan itu yang selalu buat gue gagal dekat sama dia.
Tanpa bilang-bilang, Sovi langsung dorong bahu gue kenceng-kenceng. "Bagus tuh! Kalian udah kenal lama tapi elonya masih malu-malu aja sama dia. Gimana mau deket?" seru Sovi heboh.
Gue nggak mau ngalah. "Dulu lo juga sama si David gitu, kan? Mending gue malu-malu kalem, lah elo, malu-malu kucing di depan dia!" semprot gue. Ekspresi muka Sovi berubah drastis. Sekarang dia malah senyum malu-malu kucing. Apa gue bilang?
"Lagian dia anak temen nyokap-bokap. Gue harus tau bataslah. Gimana kalo nanti nyokap-bokap gue tau gue naksir dia? Apalagi sampe si Ian tau, gue bisa jadi bulan-bulanan dia," gue menggerutu. Fyi, Ian itu kembaran gue, cowok. Yap, kita sodara kembar--kembar cewek-cowok.
"Tapi malu lo itu kelewatan banget, Div. Masa nyapa aja nggak berani," cibir Sovi sambil menekan spasi di laptop, melanjutkan tontonannya. "Lo harus gunain kesempatan yang ada dong."
Gue masih belum nyahut, dan Sovi mencet spasi di laptopnya lagi, menjeda tontonannya. "Dia tinggal di kompleks ini juga, kan?"
Gue yang natap dia bingung, cuma manggut-manggut.
"Gue punya ide." Sovi menjetikkan jari di depan wajah gue, menutup laptopnya, dan dengan cepat melompat turun dari tempat tidur. "Get up, please!" perintah cewek itu, yang bodohnya gue turutin aja tanpa bertanya-tanya. Kebiasaan Sovi, kalo udah ngomong pake bahasa inggris, dia pasti serius, kalo enggak, pasti ada sesuatu yang bener-bener gila.
Ada masalah sama rumahnya Aron, ya? Gue bertanya dalam hati, tapi nggak kesampean buat bilangnya karena dia keburu narik gue keluar dari kamar.
Sesampainya di garasi, kami berhenti tepat di dekat dua sepeda milik gue dan Ian.
Perasaan gue mulai nggak enak.
"Kita ke sana, yuk. Jalan-jalan aja, siapa tau timing-nya pas." Sovi mengibaskan tangannya pelan, memberi isyarat agar gue mengikutinya.
Belum sempat gue buka mulut, Sovi sudah mengambil satu dari dua sepeda itu, naik ke atasnya, dan mengayuhnya keluar dari garasi.
"Sov, lo serius?" tanya gue linglung.
Gue tau, pertanyaan gue percuma. Sovi nggak pernah main-main sama ide dan tindakan gilanya. Cewek itu menoleh ke gue, mengangguk yakin.
Nggak ada pilihan lain selain mengikuti ide gila Sovi.
Jadi, gue menaiki sepeda yang ada di dekat gue, mengayuhnya mengikuti Sovi.
"Lo jalan di depan, Div!" teriak Sovi.
Gue mendesah pasrah. Lalu, gue mengayuh sepeda mendahului Sovi, memandunya. Setelah dua kali berbelok, gue akhirnya menemukan rumah bertingkat dua yang tampak mewah itu. Hampir setengah halaman depannya dipenuhi rerumputan hijau dan beberapa tanaman hias. Itu rumah Aron.
But, timing-nya nggak pas. Buat gue.
Tapi gue yakin, bagi Sovi, ini kesempatan emas.
Aron dan dua sahabatnya baru saja turun dari mobil dan tentunya, dengan cepat mengenali dua pengendara sepeda yang baru saja melewatinya. Gimana nggak, gue hampir kelabakan ketika tatapan kami bertemu. Belum sampai dua detik, gue langsung memalingkan muka.
Tanpa memedulikan Sovi lagi, gue memacu kedua kaki gue untuk mengayuh sepeda dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Sebisa mungkin segera menghilang dari jangkauan pandangan Aron beserta kedua sahabatnya yang sekarang cengar-cengir nggak jelas.
Gue harus ngapain sekarang?!
💘
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Shy And Too Late [COMPLETED]
Short StoryIni kisah tentang dua hati yang saling memendam rasa. Tentang dua lidah yang terlalu kelu untuk sekadar menyapa. Tentang dua pasang mata yang terlalu malu untuk menatap lebih dari sedetik. Tentang dua hati yang berdebar di saat mereka berdekatan. Da...