Siang menjelang sore ini langit mendung. Gerimis udah turun. Dan gue di sini, menatap ke luar sana dari jendela kamar.
"Rindu ama Eva?"
Gue menoleh ke belakang, balik menghadap Rangga yang duduk di sofa dekat tempat tidur. Tangan kirinya megang hape--lagi main coc sepertinya--dan tangan kanannya megang dua keripik kentang, cemilan yang kami beli di perjalanan pulang sekolah tadi. Mulutnya ngunyah-ngunyah keripik.
"Bisa nggak, sih, lo pake bahasa yang nggak bikin gue jijik dengernya? Rindu, auh!" ucap gue jijik.
Rangga terkekeh. "Udah gue kasih kesempatan kemarin malam buat kalian chat berdua, malah nggak digunain."
Oh, soal grup di LINE itu.
"Gue kasian ama lo. Nanti malah nggak bisa tidur gara-gara denger notif LINE bunyi mulu."
"Ah, payah lo," ledek Rangga. "Lagian ini Eva kemana, sih? Kok nggak nongol-nongol."
"Hujan di luar."
"Yaelah, hujan cuma rintik-rintik doang."
"Gerimis!" Gue menekankan kata itu.
"Apa bedanya," gumam Rangga.
Hening selama beberapa saat. Gue kembali menghadap jendela, nungguin sosok Eva datang.
"Ron, gue mau nanya. Ini serius--"
"Eh, si Eva udah datang tuh! Gue turun dulu, ya!" Mengabaikan Rangga, gue langsung melesat turun ke bawah, membukakan Eva pintu. Mungkin Rangga sekarang lagi maki-maki gue dalam hati. But I don't care. Hahaha.
"Hai, Eva," sapa gue dengan napas yang nggak beraturan setelah buka pintu. Lagi gugup dan bersemangat di waktu bersamaan soalnya.
Eva sekarang berdiri di teras, mengeringkan rambut dan buku cetak sejarah yang sedikit basah karena hujan. Di t-shirt putihnya juga ada beberapa bekas tetes air. Gue jadi khawatir.
"Lo nggak bawa payung?" tanya gue.
"Eh, enggak," jawabnya sambil nyengir. "Gue nggak apa-apa masuk rumah lo basah-basah gini, 'kan?"
"Ya nggak papalah. Kecuali kalo lo basah kuyup, mungkin gue masih mikir dua kali." Gue tertawa. "Udah, masuk, yuk. Nanti lo malah kedinginan lagi di luar terus." Sejujurnya, gue nggak tau kenapa mulut gue mengatakannya. Gue hanya ... ya, khawatir.
Eva diam sebentar, sebelum akhirnya ikut gue masuk ke dalam.
"Jadi kalian pulang bareng?" tanyanya langsung setelah ngeliat Rangga di kamar.
"Kenapa? Iri?"
Gue mendecak pelan, memberi Rangga peringatan lewat pelototan gue. Tapi yang namanya Rangga nggak pernah takut dengan gue.
"Siapa yang iri?" balas Eva.
Bagus. Harus ada yang nantangin Rangga.
Tapi setelah itu, nggak ada lagi yang bersuara. Gue minta izin ke kamar mandi buat ganti baju--karena dari tadi gue masih make seragam sekolah. Dari dalam, gue bisa denger Eva sama Rangga berdebat dengan suara pelan.
Ah, si Rangga. Paling jago kalo mau berdebat ama cewek. Paling jago buat cewek naik darah ama dia. Gue senyum-senyum sendiri denger mereka. Berharap, gue bisa juga kayak gitu sama Eva. Nanti. Entah kapan.
Setelah nyelesein tugas di kamar mandi, gue keluar. Hening. Cuma suara AC yang terdengar. Gue langsung ngambil laptop, nyalain, dan sediain buku cetak sejarah di samping laptop.
"Yaampun. Kok, malah diem-diem gini, sih?" celetuk Rangga. Gue noleh ke dia, diam-diam nahan ketawa sambil kembali fokus ke buku yang gue lagi buka di tangan. "Kemarin aja rame banget di grup. Sekarang, malah jadi bisu semua," cibirnya lagi.
Oke. Kalo mau dia begitu.
"Va, sini, deh." Gue manggil Eva. Eva langsung nyamperin gue, duduk di kursi kosong samping meja. Kepalanya mendekat, penasaran sama apa yang gue mau tunjukin.
"Gimana kalo lo tandain dulu yang mana aja poin-poin pentingnya di buku, terus nanti lo dikte kata-katanya, biar gue yang ngetik, oke?" usul gue sambil tersenyum.
Eva ngangguk paham. "Oke. Hmm ... gue bisa pinjem stabilo nggak?"
"Stabilo?" Gue berdiri, ngambil tas di dekat tempat tidur. Gue kembali dengan tempat pensil sudah di tangan kanan dan tas gue taruh di bawah meja. "Ini. Warna pink, nggak papa, 'kan?"
"Nggak suka, sih, sebenernya. Tapi nggak papa, deh." Dia tersenyum sambil nerima stabilo dari gue.
"Lo nggak suka warna pink?" tanya gue iseng.
Dia ngangguk, tersenyum lagi. Seperti yang pernah gue bilang, dia itu cewek paling murah senyum.
"Sudah gue duga." Gue tertawa kecil sambil manggut-manggut.
Itu beneran, loh. Gue emang sering menduga dia suka warna-warna yang gelap. Eva bukan tipe cewek feminin atau girly yang kebanyakan dari mereka suka warna pink. Dari yang gue lihat selama ini, dia lebih suka pake pakaian berwarna gelap.
Pernah sekali, ketika penerimaan rapor, sekolah menyuruh semua murid make pakaian bebas, dan dia datang dengan pakaian serba hitam, aksesoris serba hitam pula. Sampe-sampe Rangga bilang: "Lo lagi berkabung, ya, Va? Atau emang hidup lo sehitam itu, sampe-sampe lo make semua yang serba hitam."
Ah, kenapa gue malah mikirin dia terus? Kacau, nih, gue.
"Gue suka warna gelap," ucapnya seraya mulai menggarisbawahi sebuah kalimat di buku dengan stabilo.
"WOI! GUE JUGA ANGGOTA KELOMPOK, WOI!"
Gue sama Eva menoleh ke arah Rangga bersamaan, lalu tertawa bersama tanpa bersuara. Rangga kayaknya kesal banget, tuh.
"ENAK AJA, YA, GUE DIJADIIN OBAT NYAMUK DI SINI!"
"Bagus, dong. Supaya nyamuknya nggak ganggu," celetuk gue, lalu ketawa lagi tapi bener-bener gue tahan supaya nggak bersuara.
Rangga berdiri sambil kacak pinggang. "Oke. Gue inget kalian berdua. Oke!" Dia nunjuk-nunjuk gue sama Eva sambil nahan amarah yang kentara banget dari mukanya.
Tawa gue akhirnya reda. "Rangga, Rangga. Tadi lo sendiri yang marah karena kita diem-dieman. Sekarang, kita udah sibuk kerja tugas, lo marah-marah juga. Jadi mau lo apa, sih?"
"GUE MAU PULANG! MALAS GUE BERURUSAN SAMA NYAMUK-NYAMUK DI SINI! PENGEN GUE BAKAR AJA SEKALIAN INI RUANGAN SUPAYA PADA MATI SEMUA NYAMUKNYA!"
💘
KAMU SEDANG MEMBACA
Too Shy And Too Late [COMPLETED]
Short StoryIni kisah tentang dua hati yang saling memendam rasa. Tentang dua lidah yang terlalu kelu untuk sekadar menyapa. Tentang dua pasang mata yang terlalu malu untuk menatap lebih dari sedetik. Tentang dua hati yang berdebar di saat mereka berdekatan. Da...